KARAKTERISTIK TAFSIR AL-SYA’RAW KHAWATIR AL-SYA’RAWI HAULA AL-QUR’AN AL-KARIM

 

Shohibul Adib, S.Ag, M.S.I

A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah sumber utama atau sumber fundamental bagi agama Islam, ia disamping berfungsi sebagai petunjuk (hudan)-antara lain petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, Syari’ah, moral (akhlak) dan lain-lain,- juga berfungsi sebagai pembeda (furqān), (Qs: 2:185), sehingga ia menjadi tolok ukur dan penolakan apa yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad.

Berangkat dari kesadaran bahwa al-Qur’an memuat berbagai macam petunjuk yang paling lengkap bagi manusia, yang membenarkan dan mencakup wahyu-wahyu yang terdahulu (Qs:12:111), (Qs:10:37), (Qs:6:114), yang kedudukannya menempati posisi sentral dalam studi keislaman, maka lahirlah niatan dikalangan ummat Islam untuk mencoba memahami isi kandungan al-Qur’an itu sendiri. Usaha untuk memahmi al-Qur’an inilah pada nantinya yang dikenal dengan aktivitas penafsiran (al-tafsir).
Terkait dengan hasil karya para ulama berupa kitab tafsir, kalangan peminat studi al-Qur’an (al-tafsir) mengenal istilah-istilah metode (al-manha@j), corak (al-laun), bahkan paradigma guna membantu untuk memilah, memahami dan menetapkan kategori tertentu terhadap suatu hasil karya tafsir. Paper ini berusaha mengkaji kitab tafsir kontemporer, yakni Tafsi@r al-Sya’ra@wi@ Oleh Syekh Mutawalli@, semoga keberadaan paper ini bermanfaat, amin.
B. Biografi al-Sya’rawi
Nama Lengkap al-Sya’ra@wi@ adalah Muhammad bin Mutawalli al-Sya’ra@wi@ al-H}usaini@. Dilihat dari garis keturunan nasab bapaknya ia sampai kepada cucu Nabi Muhammad saw. yakni Ima@m H}usai@n bin ‘Ali@. Pada tanggal 5 April 1911 al-Sya’ra@wi@ lahir, tepatnya di desa Daqa@dus, Mit Gamir, ad-Daqhiliyyah.
Ketekunan al-Sya’ra@wi@ dalam studi al-Qur’an sudah nampak sejak kecil dimana sejak ia berusia 11 tahun sudah hafal al-Qur’an di bawah bimbingan gurunya Syekh Abd al-Maji@d Pasya. Karenanya, tidak aneh ketika ia dewasa menjadi salah satu tokoh dalam bidang tarsir kontemporer abad 21.
Sejak duduk di bangku sekolah menengah (setingkat SLTA atau MA di Indonesia) al-Sya’ra@wi@ menekuni keilmuan bidang syair dan sastra Arab. Hal ini tampak ketika ia di angkat menjadi Ketua Persatuan Pelajar dan Ketua Persatuan Kesusastraan di daerah Zaqaziq. Kemudian pada tahun 1930-an merasakan bangku kuliah pada Fakultas Ushuluddin di Zaqaziq, dan setelah lulus pendidikan S1 pada tahun 1936 ia melanjutkan studi (setingkat S2) mengambil konsentrasi Bahasa Arab pada Universitas al-Azhar dan lulus pada tahun 1943 dengan predikat cum laude.
Setelah menyelsaukan studinya tersebut, al-Sya’ra@wi@ menghabiskan hidupnya dalam dunia pendidikan, yakni sebagai tenaga pengajar pada beberapa perguruan tinggi di kawasan Timur Tengah (midle countries), antara lain: al-Azhar Tanta, al-Azhar Iskandariyyah, Zaqaziq, Universitas Malik Ibn Abdul Aziz Makkah, Universitas al-Anjal Arab Saudi, Universitas Ummul Qura Makkah, dan lain-lain. Selian mengajar, al-Sya’ra@wi@ juga mengisi kegiatan-kegiatan sosial keagamaan, seperti menjadi Khatib, mengisi kegiatan ceramah (da’i), mengisi pengajian tafsir al-Qur’an yang di siarkan secara langsung (muba@syarah, live) melalui layar televisi di Mesir. Sembilan belas tahun sebelum al-Sya’ra@wi@ meninggal dunia pada tahun 1998, tepatnya pada tahun 1980 ia mendapatkan gelar akademiknya yang terakhir berupa gelar Doktor Honoris Causa.
Riwayat hidup al-Sya’ra@wi@ ini memberikan pelajaran berharga yang harus diteladani, yakni kesungguhan dan perjuangannya dalam bidang pendidikan, khususnya dalam bidang studi tafsir al-Qur’an. Selain itu, dari riwayat hidupnya, tampak bahwa ia adalah orang yang ahli dalam bidang tafsir al-Qur’an dan dalam bidang dakwah, dan terakhir seorang yang mumpuni dalam bidang bahasa dan sastra Arab yang dalam asumsi penyusun sangat mempengaruhi karya tafsirnya Tafsir al-Sya’ra@wi@.
C. Karya-karya al-Sya’rawi
Menurut Ahmad al-Marsi Husain Jauhar, al-Sya’ra@wi@ tidak pernah bergumul dalam kegiatan tulis menulis, ia lebih menikmati bahasa lisan dari pada bahasa tulisan. Karenanya al-Sya’ra@wi@ berpendapat bahwa bahasa lisan merupakan bahasa yang efisien sehingga tidak menunggu seseorang untuk membeli dan membaca buku, selain itu, dengan perantara bahasa lisan seseorang dapat langsung melakukan dialog tanpa harus dibatasi. Meskipun demikian, ceramah-ceramah al-Sya’ra@wi@ kemudian ditulis dalam bentuk karya buku oleh para murid-murid maupun para pengikutnya, antara lain: dalam bidang tafsir dan al-Qur’an, kitab Mu’jiza@t al-Qur’a@n, al-Qur’a@n al-Kari@m Mu’jiza@t al-Kari@m, al-Muntakhab fi Tafsi@r al-Qur’a@n al-kari@m, Tafsi@r al-Sya’ra@wi@, Khawa@t}ir H}aul al-Qur’a@n, al-Syait}a@n wa al-Insa@n, Nad}arat fi@ al-Qur’a@n, Asra@r Bismillahirrah}ma@n al-Rah}i@m, al-A@ya@t al-Kauniyyah wa Dala@latuha ‘ala Wuju@dillah Ta’ala@, dan lain-lain.
Dalam bidang Teologi, al-Isla@m Ra’sima@liyyah wa al-Syu@’iyyah, Fad}a@ya@ al-Isla@m, ‘Aqidah al-Muslim, Syubha@t wa al-Aba@t}i@l Khasu@m al-Isla@m wa al-Rid}d}ah ‘Alaihi, dan lain-lain.
Dalam bidang Hukum Islam antara lain: al-Fata@wa@, 100 as-Sua@l wa al-Jawa@b fi@ Fiqh al-Isla@m, al-H}ajj al-Akba@r; H}ukm Asra@r al-‘Iba@dah, dan lain-lain.
Dalam bidang Dakwah, al-Qad}a@ wa al-Qada@r, Haz\a Huwa al-Isla@m, Isra@’ wa al-Mi’ra@j, dan lain-lain. Dalam bidang sosial-budaya terdapat karya ‘Ala@ ‘A@idah al-Fikr al-Isla@m, al-Isla@m al-Fikr al-Mu’a@s}irah.
D. Tafsi@r al-Sya’ra@wi@; Isi, Sistematika, Metode, dan Karakteristiknya
Nama Tafsi@r al-Sya’ra@wi@ diambilkan dari nama asli pemiliknya yakni al-Sya’ra@wi@. Menurut Muh}ammad ‘Ali@ Iyazi judul yang terkenal dari karya ini adalah Tafsi@r al-Sya’ra@wi@ Khawa@t}ir al-Sya’ra@wi@ H}aula al-Qur’a@n al-Kari@m. Pada mulanya, tafsir ini hanya diberi nama Khawa@t}ir al-Sya’ra@wi@ yang dimaksudkan sebagai sebuah perenungan (Khawa@t}ir) dari diri al-Sya’ra@wi@ terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang tentunya bisa saja salah dan benar.
Kitab ini merupakan hasil kreasi yang dibuat oleh murid al-Sya’ra@wi@ yakni Muh}ammad al-Sinra@wi, ‘Abd al-Wa@ris al-Dasuqi@ dari kumpulan pidato-pidato atau ceramah-ceramah yang dilakukan al-Sya’ra@wi@. Sementara itu, hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Tafsi@r al-Sya’ra@wi@ di takhrij oleh Ah}mad ‘Umar Hasyim. Kitab ini diterbitkan oleh Akhbar al-Yaum Ida@rah al-Kutub wa al-Maktabah pada tahun 1991 (tujuh tahun sebelum al-Sya’ra@wi@ meninggal dunia). Dengan demikian, Tafsi@r al-Sya’ra@wi@ ini merupakan kumpulan hasil-hasil pidato atau ceramah al-Sya’ra@wi@ yang kemudian di edit dalam bentuk tulisan buku oleh murid-muridnya.
Adapun dilihat dari isi dan sistematikanya, tampak bahwa kitab ini terdiri dari 18 jilid yang dapat digambarkan dalam tabel berikut ini:
NO. JILID ISI
1. I Pendahuluan, Qs. al-fa@tih}ah} sampai Qs. al-Baqa@rah ayat 154
2. II Qs. al-Baqa@rah ayat 155 sampai Qs. Ali@ Imra@n ayat 13.
3. III Qs. Ali@ Imra@n ayat 14 sampai 189.
4. IV Qs. Ali@ Imra@n ayat 190 sampai Qs. An-Nisa@’ ayat 100.
5. V Qs. An-Nisa@’ ayat 101 sampai Qs. Al-Ma@idah: 54.
6. VI Qs. Al-Ma@idah: 55 sampai Qs. al-An’a@m: 109.
7. VII Qs. al-An’a@m: 110 sampai Qs. al-A’ra@f: 188.
8. VIII Qs. al-A’ra@f: 189 sampai Qs. At-Taubah: 44
9. IX Qs. At-Taubah: 45 sampai Qs. Yunu@s: 14.
10. X Qs. Yunu@s: 15 sampai Qs. Hu@d: 27.
11. XI Qs. Hu@d: 28 sampai Qs. Yu@suf: 96.
12. XII Qs. Yu@suf: 97 sampai Qs. Al-H}jr: 47.
13. XIII Qs. Al-H}jr: 48 sampai Qs. Al-Isra@’: 4.
14. XIV Qs. Al-Isra@’: 5 sampai Qs. Al-Kahfi; 98.
15. XV Qs. Al-Kahfi; 99 sampai Qs. Al-Anbiya@’: 90.
16. XVI Qs. Al-Anbiya@’: 91 sampai Qs.an-Nu@r: 35.
17. XVII Qs.an-Nu@r: 36 sampai Qs. Al-Qas}as}: 29.
18. XVIII Qs. Al-Qas}as}: 30 sampai Qs. Ar-Ru@m: 58.Berdasarkan tabel tersebut, maka tafsir ini tidak memuat dari surah Luqma@n hingga surah an-Nas atau dari pertengahan Juz 21 hingga akhir Juz 30 dalam al-Qur’an.
Sementara itu, dilihat dari metodenya, Tafsi@r al-Sya’ra@wi@ ini susah untuk di petakan. Sebab, tafsir ini merupakan tafsir bi al-lisa@n atau tafsir s}auti (hasil pidato atau ceramah yang kemudian di bukukan). Dengan demikian tafsir ini tidak ditulis dalam bentuk tulisan ilmiah. Namun, secara umum tafsir ini menggunakan metode gabungan antara tah}lili@ dan tematik. Dengan kata lain al-Sya’ra@wi@ menggunakan metode tah}lili@, yakni menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu dan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan penafsir, kemudian ia menjelaskan dengan menggunakan metode dan pendekatan tematik, yakni membahas ayat-ayat al-Qur’an dalam sebuah tema yang teratur.
Dalam hal ini ‘Usma@n Abd al-Rah}i@m al-Qamih}i@ menyimpulkan metode dan langkah-langkah yang ditempuh al-Sya’ra@wi@ dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an, yakni:
1. Dalam tafsir ini memuat perenungan-perenungan dan pandangan-pandangan yang tajam.
2. Mengandung tafsir maud}u@’i@, yakni dalam membahas ayat al-Qur’an ia mencoba mengkajinya pada satu tema.
3. Tafsir ini merupakan Tafsi@r S}auti (hasil ceramah yang kemudian ditulis).
4. Al-Sya’ra@wi@ adalah orang yang ahli dalam bahasa dan sastra Arab, maka ia selalu berangkat dari analisa bahasa ketika menafsirkan sebuah ayat.
5. Berusaha menyingkap Fas}a@h}ah} al-Qur’a@n i (kehebatan al-Qur’an) dan rahasia sistematikanya.
6. Tujuan dari tafsir ini adalah untuk perbaikan sosial (al-is}lah} al-ijtima@’i), moral, dan tarbawi@ (pendidikan).
7. Menyingkap ayat-ayat hukum dan melihat asba@b an-nuzu@l-nya.
8. Menggabungkan antara pendalaman dan kesederhanaan dalam menafsirkan dan menyampaikannya.
9. Menggunakan metode Analisis dan Tematik, dan berusaha menghubungkan antara ayat (muna@sabah al-aya@t).
10. Terkadang bernuansa sufistik.
11. Menggunakan gaya bahasa (uslu@b), retoris-dialogis (al-mantiqi@ al-jadali@).
12. Menyingkap penemuan-penemuan ilmiah dalam al-Qur’an.
Sampai di sini dapat dikatakan bahwa karakteristik dari kitab Tafsi@r al-Sya’ra@wi@ adalahTafsi@r S}auti (hasil ceramah yang kemudian ditulis), dengan pembahasan yang luas, tidak terikat oleh satu metode tertentu dalam metodologi tafsir al-Qur’an. Sementara itu, secara umum corak dari kitab tafsir ini adalah ada@bi ijtima@’i yakni sosial kemasyarakatan, progresif untuk melakukan perubahan dan perbaikan kehidupan sosial yang lebih baik. Dikatakan secara umum, karena tafsir ini tidak menekankan corak, melainkan menekankan pengungkapan “ruh” al-Qur’an sebagai sumber hidayah bagi umat manusia.E. Contoh Tafsir dan Komentar Para Ulama terhadap Tafsi@r al-Sya’ra@wi@
Beragamnya metode dan langkah yang ditempuh dalam Tafsi@r al-Sya’ra@wi@ sebagaimana disimpulkan oleh ‘Usma@n Abd al-Rah}i@m al-Qamih}i@, maka dalam hal ini penyusun hanya akan memberikan satu contoh penafsiran terkait dengan penafsiran ilmiah. Hal ini tampak ketika al-Sya’ra@wi@ menafsirkan Qs. Al-Kahfi (18): 18.وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا

Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka. (QS. 18:18)

Menurut al-Sya’ra@wi@ istilah “membolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri” merupakan isyarat dari Tuhan terkait dengan tata cara tidur yang lama dan sehat. Karena, tidak aneh jika terdapat dokter yang menyarankan pasiennya untuk membolak-balikkan badannya ke kanan dan kiri ketika sedang tidur supaya terjauhkan dari penyakit kudis, dan tidak terjadi penyumbatan urat darah di bawah kedua tumit dan sebagainya.
Sementara itu, terkait dengan komentar para ulama atau tokoh secara umum memberikan penilaian dan komentar yang positif, mrk . Menurut Ahmad Bahjat al-Sya’ra@wi@ adalah mufasir kontemporer yang mampu menafsirkan al-Qur’an dengan gaya bahasa yang mudah dipahami oleh khalayak umum. Hal yang sama datang dari Yusu@f al-Qara@d}a@wi, menurutnya al-Sya’ra@wi@ adalah ahli al-Qur’an, seorang yang dikaruniai pemahaman al-Qur’an dan rahasia-rahasianya serta pandangan-pandangannya memiliki pengaruh luas di kalangan masyarakat.

F. Kesimpulan
Model Tafsi@r S}auti (hasil ceramah yang kemudian ditulis), dengan pembahasan yang luas, tidak terikat oleh satu metode tertentu dalam metodologi tafsir al-Qur’an ketika mengungkap “ruh” al-Qur’an sebagai sumber hidayah bagi perubahan dan perbaikan kehidupan sosial adalah salah satu karakteristik yang dimiliki oleh tafsir Tafsi@r al-Sya’ra@wi@ ini.

DAFTAR PUSTAKA

‘Usma@n Abd al-Rah}i@m al-Qamih}i@, “Sua@l al-tafsi@r al-Syaekh Muhammad Mutawalli@ al-Sya’ra@wi@” dalam www.tafsir.org. Akses tanggal 9 April 2009.

Abd al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidāyah fi Tafsir Maudhu’i, Dirasah Manhajiah Maudhu’iah. Terj. Suryan al-Jamrah. Metode tafsir Maudui: Suatu Pengantar, Jakarta: LsiK, 1994.

Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, Madzhab Tafsir dari Periode Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.

Bahrus Shafa, “Syekh Mutawalli@ al-Sya’ra@wi@” dalam www.bahrusshofa.blogspot.com. Akses 8 April 2009. Lihat juga Happis basha, “al-Sya’ra@wi”@, dalam www.ydim.com. Akses 8 April 2009.

Ibn Manzur, Lisān al-Arab, Beirut: Dār Sadhr .t.t

Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir al-Sya’ra@wi@, Jakarta: Teraju, 2004.

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994

Mohd Rumaizuddin Ghazali, Jejak Ulama: Syekh Muhammad Mutawalli al-Sya’ra@wi@ (1911-1998); Tokoh Tafsir Mesir Abad 21” dalam www.abim.org. Akses 8 April 2009.

Muh}ammad ‘Ali@ Iyazi, Al-Mufassiru@n H}aya@tuhum wa Manha@juhum, t.tp.: Muassasah al-T}iba’ah wa an-Nasr Wizarah as\-S\aqa@fah wa al-Irsya@d al-Isla@mi, 1312 H.

Muh}ammad al-Sinra@wi dan ‘Abd al-Wa@ris al-Dasuqi, Tafsi@r al-Sya’ra@wi@ Khawa@t}ir al-Sya’ra@wi@ H}aula al-Qur’a@n al-Kari@m, Mesir: Akhbar al-Yaum Ida@rah al-Kutub wa al-Maktabah, 1991.

Nasruddin Baidan, “Metodologi Penelitian Tafsir”, dalam Makalah Seminar 14- 08-1999.

www.forsan.net akses 8 April 2009.

www.islamiyyat.com. Akses 8 April 2009

TERORISME TELAAH PROBLEMATIKA HUBUNGAN ISLAM DAN BARAT

TERORISME TELAAH PROBLEMATIKA HUBUNGAN ISLAM DAN BARAT
By: Shohibul Adib, S. Ag, M.S.I

A. Pendahuluan.
Definisi terorisme hingga saat ini masih dalam perdebatan di kalangan pakar ilmu politik. Belum ada ahli politik yang dapat mendefinisikannya secara memuaskan. Meskipun demikian, definisi terorisme sebenarnya dapat dipahami dari berbagai aspek, seperti psikologi, agama, hukum, sosiologis, politis, dan cabang ilmu pengetahuan yang lainnya. Dengan demikian, definisi terorisme sangat beragam tergantung dari sudut mana ia dilihat dan di pahami. Oleh karena itu, tidak aneh jika kemudian istilah terorisme menimbulkan bias sehingga terorisme diterapkan terutama untuk pembalasan oleh individu atau kelompok-kelompok tertentu sebagai pengacau pihak yang kuat.

Dalam praktiknya, terorisme sampai pada puncaknya berupa menumpahkan darah manusia, pembunuhan, memusnahkan harta benda, memecah belah suatu bangsa, berubahnya kenikmatan dan kemakmuran menjadi kerusakan dan fitnah. Karenanya, terorisme dengan beragam dampaknya bagi kehidupan masyarakat dunia tersebut, merupakan fenomena modern dan telah menjadi fokus perhatian dan penelitian dari berbagai organisasi internasional, berbagai negara, dan berbagai kalangan cendekiawan atau pemikir muslim, baik mahasiswa maupun para dosen pada perguruan tinggi baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Sebuah survei tentang Islam, Muslim, dan terorisme yang baru-baru ini diumumkan Gallup, sebuah lembaga survei terkemuka yang berpusat di Amerika Serikat, sangat penting dan menarik. Hasil dan temuan survei yang dilaksanakan selama enam tahun dengan melibatkan sampel lebih dari 50 ribuan orang, yang equivalen dengan sekitar 90 persen kaum Muslimin di muka bumi, ini menantang sekaligus mengoreksi pandangan keliru dan mispersepsi dominan di kalangan Barat tentang hubungan Islam dan para penganutnya dengan terorisme. Ada pandangan di kalangan Barat, bahwa Islam itu sendiri sebagai agama merupakan faktor pendorong (driving force) bagi radikalisme. Tetapi, survei Gallup yang dilakukan di 40 negara Asia, Afrika, Timur Tengah, dan Eropa menemukan, bahwa mayoritas terbesar kaum Muslimin menolak radikalisme, apalagi terorisme. Mereka juga mengutuk serangan 11 September 2001 di New York dan Washington serta serangan teroris selanjutnya, seperti di Bali, Madrid, dan London.

Seakan tidak terpengaruh oleh hasil penelitian Gallup, munculnya tuduhan teroris terhadap sebagian umat Islam seringkali dikaitkan dengan fenomena maraknya gerakan fundamentalis Islam yang cenderung eksklusif dan seringkali menjastifikasi pemahaman keislaman-nyalah yang dianggap paling benar. Anasir inilah yang telah menebar, tidak hanya pertarungan antar ideologi keagamaan, melainkan juga membuka secara lebar wacana terorisme di seantero dunia. Terutama dalam konteks global, pasca runtuhnya WTC di USA pada tahun 2001 silam, terorisme yang mendapat dukungan dari gerakan radikalisme dan fundamentalisme agama kerap kali menjadi objek dari tuduhan pelaku pengeboman.

Eksistensi Islam fundamentalisme yang berujung pada tuduhan bahwa terorisme adalah Islam ini menjadi problematika dan ancaman tersendiri bagi hubungan “baik” antara Barat dan Islam. Sampai di sini maka pertanyaannnya adalah bagaimana mengatasi kaum fundamentalisme ini agar hubungan baik antara Islam dan Barat dapat terus terjaga. Tulisan ini mencoba untuk mencari tahu apa jawaban yang sebenarnya. Semoga bermanfaat.

B. Gambaran tentang Terorisme.
1. Pengertian Terorisme.
Definisi terorisme hingga saat ini masih dalam perdebatan di kalangan pakar ilmu politik. Belum ada ahli politik yang dapat mendefinisikannya secara memuaskan. Meskipun demikian, definisi terorisme sebenarnya dapat dipahami dari berbagai aspek, seperti psikologi, agama, hukum, sosiologis, politis, dan cabang ilmu pengetahuan yang lainnya. Dengan demikian, definisi terorisme sangat beragam tergantung dari sudut mana ia dilihat dan di pahami.

Terlepas dari kesulitan pendefinisian, sebenarnya antara teror dan terorisme dapat dibedakan penggunaannya. Penggunaan kekerasan atau teror secara tidak langsung merupakan bentuk dari terorisme itu sendiri. Dengan demikian, terorisme dapat diartikan setiap penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara ekstra-normal atau penggunaan ancaman kekerasan yang tidak dapat diterima oleh akal sehat.

Menurut Ziad Muhammad bin Hadi al-Madkhali, istilah teror yang dalam bahasa Arab berarti al-irhab mengandung pengertian bahwa sesuatu itu terjadi tidak terlepas dari unsur atau modus yang melatarbelakanginya. Dalam dataran aplikasinya, istilah ini seringkali digunakan untuk menyebut adanya suatu gerakan intimidasi, teror atau gerakan menebar rasa takut kepada setiap individu atau masyarakat. Istilah ini dalam al-Quran digunakan untuk melawan “musuh Tuhan” (Qs: 8:60).

Menurut konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Didefinisikan juga oleh PBB terorisme adalah setiap tindakan-tindakan yang mengancam atau merenggut nyawa orang tidak berdosa, mengancam hak kebebasan mendasar atau melanggar martabat kemanusiaan. Menurut kamus Webster’s New School and Office Dictionary, terrorism is the use of violence, intimidation, etc to gain to end; especially a system of government ruling by teror, pelakunya disebut terrorist. Selanjutnya sebagai kata kerja terrorize is to fill with dread or terror’; terrify; ti intimidate or coerce by terror or by threats of terror.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah terorisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian. Pertama, terorisme berasal dari kata teror yang memiliki makna suatu usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman baik itu dilakukan oleh seseorang atau pun golongan. Kedua, Teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut dan biasanya bertujuan politis. Ketiga, terorisme adalah penggunaan kekerasan yang menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan tertentu.

Sementara itu, terorisme dalam pandangan orang-orang Barat (di dalamnya termasuk juga USA) adalah: pertama, terorisme berarti aksi kekerasan bermotivasi politik yang direncanakan sebelumnya, yang dilakukan terhadap sasaran non-tempur (noncombat) oleh agen-agen rahasia atau sub-nasional yang biasanya dimaksudkan untuk mempengaruhi kalangan tertentu. Kedua, istilah terorisme internasional, yakni terorisme yang melibatkan waerga negara atau wilayah lebih dari satu negara. Ketiga, disebut dengan terorisme kelompok, yakni setiap kelompok atau sub-kelompok yang mempraktikkan tindakan terorisme internasional.

Pengertian lain yang terkait dengan istilah terorisme secara etimologis adalah: pertama, pemakaian kekerasan secara sistematis untuk mencapai tujuan politik (merebut, mempertahankan, atau menerapkan kekuasaan). Kedua, keseluruhan tindakan kekerasan penyerangan, penyanderaan warga sipil yang dilakukan sebuah organiasasi politik untuk menimbulkan kesan kuat aas suatu negara, negaranya sendiri maupun negara lain. Ketiga, sikap menakut-nakuti. Keempat, penggunaan kekerasan dan intimidasi, terutama sekali untuk tujuan politik. Kelima, kekerasan yang sangat jelas ditujukan kepada warga-warga sipil yang dipilih secara acak dalam usaha untuk menimbulkan rasa takut yang menyebar kemana-mana dan karenanya mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Dalam merefleksikan hasil konferensi di Tel Aviv pada bulan Juni 1985, Anat Kurz Terorisme yaitu kegiatan kekerasan yang dilakukan oleh organisasi non-negara (meskipun bisa jadi kegiatan ini didukung dan disponsori oleh negara) untuk mencapai tujuan-tujuan politik.

Menurut Walter Laquer yang dikenal sebagai pakar terorisme menyimpulkan dari berbagai definisi terorisme yang dirumuskan oleh beberapa kalangan, maka mempunyai ciri utama yaitu digunakannya ancaman kekerasan dan tindakan kekerasan. Selain itu juga, terorisme pada umumnya didorong oleh motivasi politik dan dapat juga karena fanatisme agama.

Dalam Terrorisme Act 2000, UK sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahid, dkk, terorisme berarti penggunaan atau ancaman tindakan yang mempunyai empat ciri:

• Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagi tertentu yang di desain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik,
• Penggunaan ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik,
• Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama atau ideologi,
• Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang melibatkan senjata api dan bahan peledak.

Sementara itu, Pemerintah Indonesia sendiri melalui Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 1 menjelaskan bahwa terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, jiwa, nyawa, moral, harta, dan kemerdekaan seseorang, atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror, atau rasa takut terhadap seseorang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan hidup, moral, peradaban, rahasia negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.

Demikianlah beberapa definisi tentang terorisme di mana di dalamnya terdapat unsur kekerasan. Adapun wacana terorisme sejauh yang dapat direkam sejarah sudah berlangsung sejak lama. Terorisme sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan, telah ada sejak jaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno. Apabila ditelusuri bahwa pada jaman Yunani Kuno, Xenophon (430-349 SM) telah menulis mengenai manfaat dan efektifitas perang urat saraf untuk menakut-nakuti musuh. Tetapi sulit diketahui kapan secara pasti aksi teror mulai dilakukan, ada yang berpendapat aksi teror usianya sama dengan sejarah peradaban manusia.

Bahaya teroris pun berkembang semakin kompleks seiring dengan kemajuan peradaban dan teknologi. Kasus pertama yang dipandang sebagai bentuk terorisme adalah perjuangan kaum Zealot di dalam komunitas Yahudi pada tahun 66-67 SM. Aksi ini dikenal dengan sebutan sicarii, ditujukan kepada orang-orang Roma yang telah menduduki wilayah komunitas Yahudi. Sekte Zealot menggunakan cara-cara teror untuk melawan pemerintahan Romawi, yang sekarang ini dikenal dengan negara Israel. Sampai abad ke-18, tindakan teror masih berkisar pada tindakan penyiksaan, pembuangan, penculikan, pembunuhan dan penyitaan harta benda. Ironisnya penguasa sering menggunakan teror untuk mematahkan kekuatan masyarakat yang dinilai membangkang. Bahkan istilah teror dan terorisme digunakan sebagai sesuatu yang positif dalam pemerintahan Perancis tahun (1793-1794). Tidak tanggungtanggung rezim teror dibentuk untuk menghukum dan membunuh para penentang revolusi.

Istilah teroris juga sering digunakan untuk penyebutan kasus pembunuhan politis (igtiyal siyasi). Dalam sejarah, pembunuhan politis pernah dilakukan sekte al-Hasyastin, sekte sempalan yang dipimpin oleh Hassan al-Sabbah dari kelompok ekstrim Syi’ah Isma’iliyyah dan berafiliasi secara politik terhadap Daulah Fatimiyyah di Mesir. Dalam gerakannya, mereka cenderung sangat ekstrim dan militan.

Titik balik perkembangan teror dan terorisme muncul pertengahan abad ke-19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia I (PD I). Sebagai fenomena terorisme bukanlah suatu yang baru, peristiwa ini mulai terjadi berabad-abad yang lalu. Memasuki abad ke-20 terorisme mulai berkembang dengan mengadopsi kemajuan teknologi komunikasi, elektronik, transportasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dibidang kimiawi. Hal ini mulai dipraktekkan oleh kaum pergerakan, mereka terinspirasi untuk menggunakan metode teror dan kekerasan, sebagai alat yang ampuh untuk melumpuhkan musuh, sehingga lebih cepat membantu mencapai tujuan memperoleh kebebasan dan kemerdekaan.

Terorisme benar-benar menjadi gejala global, gerakan kelompok terdahulu sering kali menjadi inspirasi bagi pembentukan dan kegiatan kelompok selanjutnya. Bahkan di kalangan kelompok terorisme terdapat jalinan kerja sama, dimungkinkan oleh sistem komunikasi internasional yang lancar cepat dan massal.

Terorisme secara potensial terdapat di berbagai masyarakat dunia. Hanya aktualisasinya saja tergantung pada kerawanan kondisi sosial, ekonomi, politik dan psikologi. Kehidupan sosial politik yang tidak menentu menimbulkan frustasi dan keputusasaan yang mendorong orang menjadi agresif dan melakukan teror. Sementara itu tidak sedikit yang menggunakan teror sebagai senjata perjuangan untuk mengejar tujuan politik.

Di kawasan benua Asia (Asia Barat, Asia Tengah Asia Timur Dan Asia Tenggara), terorisme dalam perkembangannya tidaklah stagnan, aksi ini berkembang lebih jauh tidak memandang batas teritorial, karena sasarannya bukan penguasa atau pemerintahan tertentu, melainkan tatanan global yang berlawanan dengan basis religio-ideologi kaum teroris. Seperti tuduhan yang diberikan pemerintahan Amerika Serikat bahwa jaringan teroris Internasional adalah Al Qaeda, sehingga aksi yang dilakukannya tidak hanya di kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah, melainkan juga di Afrika, bahkan Amerika Serikat menjadi sasaran langsung dari aksi terorisme, hal ini terlihat dari kasus 11 September 2001 atas tragedi pengeboman World Trade Centre (WTC) dan Pentagon.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, banyak sekali kasus pengeboman dan kekerasan terjadi, sejak tahun 1999 sampai kini sekitar 124 dari 193 kasus peledakan di sejumlah kota di Indonesia dapat diungkap jajaran polri. Kasus bom yang menonjol terjadi di wilayah Jakarta, Makassar, Bali dan Medan sehingga puluhan orang menjadi tersangka dalam kasus tersebut.

Peristiwa peledakan dengan motif politik sudah sering terjadi di negara ini, mulai zaman presiden Soekarno meskipun teror bom tersebut telah mampu membuat kaget pemerintah pada masa itu. Seperti percobaan pembunuhan Presiden Soekarno di kompleks Perguruan Cikini, Jakarta , pada 30 November 1957 silam. Meski sempat meledak granat itu tidak melukai presiden sedikitpun, karena granat itu meledak setelah presiden meninggalkan gedung.

Pada masa selanjutnya, kasus ini cenderung kian meningkat bahkan beberapa tahun belakangan ini. Nampaknya semakin lama bom yang meledak di Indonesia awalnya dipersiapkan secara amatir, namun sekarang ini tampak semakin profesional dan sudah mampu merakit bom dengan daya ledak sangat tinggi. Misal, pengeboman gereja pada malam Natal tahun 2000 yang meninggalkan luka tersendiri bagi korbannya. Tidak berhenti pada disitu saja, bom berkekuatan tinggi terjadi di Bali, tepatnya di depan jalan Sari Night Club, di kawasan Pantai Legian Bali. Salah satu kawasan wisata yang merupakan pusat berkumpulnya para turis dan menjadi sasaran para teroris untuk melakukan aksinya. Terakhir, dan masih aktual adalah kasus bom di hotel J.W. Marriot dan The Rizt Carlton17 Juli 2009. Sebuah bom bunuh diri yang menebar teror di negeri Indonesia.

Bom bunuh diri merupakan sebutan atas tindakan yang dilakukan seseorang yang meledakkan dirinya dengan menggunakan bom. Bunuh diri atau intih}ar menurut bahasa berasal dari kata na}harahu yang berarti menyembelihnya, dan Intah}a@ra ar-raju@lu berarti seseorang menyembelih diri sendiri. Arti yang dimaksud adalah seseorang melakukan bunuh diri.
Adapun menurut istilah syar’i adalah orang yang membunuh dirinya sendiri dengan menghilangkan ruhnya, melalui salah satu cara yang mengakibatkan kematian, dikarenakan tertimpa musibah yang tidak kuat ia tanggung, atau tertimpa ujian yang ia tidak sabar menghadapinya.” Imam al-Qurtubi mendefinisikan intih}ar adalah seseorang yang membunuh diri sendiri dengan sengaja, untuk menghilangkan kerakusan terhadap dunia dan harta sampai mendorongnya pada bahaya yang membawa pada kehancuran, atau mungkin saja dikatakan pada ayat “ Dan janganlah kamu membunuh dirimu “ dalam keadaan panik atau marah.
Bunuh diri atau intih}ar adalah tindakan yang dilarang oleh agama. Diri manusia pada hakekatnya hanyalah barang titipan yang diberikan Allah. Oleh karena itu titipan itu tidak boleh diabaikan. Dalam melakukan aksi tersebut para pelaku telah mempersiapkan diri dengan baik. Tindakan inipun tidak dapat dilakukan oleh semua orang, hanya orang–orang tertentu saja yang dapat melakukannya. Mengorbankan diri atau al-Mughammarah bisa berarti as-syiddah ( kekerasan ). Al-Mughammir berarti orang yang terjun dalam kekerasan atau hal-hal yang mencelakakan. Maka al-Mughammir (orang yang berkorban) ialah orang yang menceburkan dirinya dalam bahaya, atau orang yang berani mengarungi kerasnya kematian (Syuja@’ Mughammir).
Aksi-aksi dalam masa perang saat ini, dengan menggunakan bahan peledak seperti bom, dengan berbagai cara penggunaannya baik dengan bantuan alat maupun dilakukan secara manual, dengan mengikatkan pada tubuh maupun kendaraan yang dikendarai. Sehingga si pelaku itu sendiri ikut menjadi korban bahkan mati. Dari hal ini muncul sebutan aksi bom bunuh diri. Meskipun bagi para pelaku berniat untuk menaklukkan musuh dengan kesiapan mengorbankan diri sendiri, dan ia pun sadar bahwa kemungkinan besar ia akan terbunuh.
Aksi bom ini dapat pula diistilahkan dengan al–‘Ama@liyyat al- Isytisyha@diyyah, yang secara umum berarti aksi-aksi perlawanan yang dilaksanakan oleh pelakunya karena mengharap syahid. Firman Allah swt.
وإن نكثوا أيمانهم من بعد عهدهم وطعنوا في دينكم فقاتلوا أئمة الكفر إنهم لا أيمان لهم لعلهم ينتهون .

Logika dalil (Wajh ad-dila@lah) adalah perang dijalan Allah mempunyai resiko besar pada kematian. Kendati demikian, Allah memerintahkannya dan memberikan pahala surga bagi yang melaksanakannya, dikarenakan sasaran dari perang tersebut adalah mencegah orang kafir agar tidak menyakiti kaum muslimin.
Dalam sejarah Indonesia, serangan aksi bom bunuh diri pernah terjadi pada masa perjuangan kemerdekaan, yakni saat pasukan Belanda menumpas perlawanan bersenjata ulama Aceh. Belanda menyebutnya dengan Aceh Mood, yakni bunuh diri ala Aceh. Mereka nekat membunuh orang Belanda walaupun disadari bahwa mereka sendiri juga akan mati pada saat itu pula. Adapun aksi yang paling heroik dalam sejarah kemerdekaan dilakukan oleh Muhamad Toha yang dilakukan di Bandung selatan yakni dengan meledakkan dirinya di gudang mesiu (ammunition) dengan tujuan untuk melemahkan kekuatan Belanda, yang kemudian peristiwa ini terkenal dengan Bandung lautan api.
Aksi bom bunuh diri dalam sejarah abad ke-20 an dipelopori oleh kelompok Hizbullah. Mereka mengemas aksi bom bunuh diri ini dengan interpretasi pembelaan agama, jihad dan syahid.

Aksi bom bunuh diri dan teror di atas jelas menimbulkan efek persepsi yang besar, berupa terciptanya persepsi global dalam waktu singkat tentang peristiwa tersebut yang menarik perhatian, keingintahuan dan kesadaran masyarakat yang besar. Diperkirakan sekitar satu milyar manusia di seluruh dunia dalam kurun waktu yang bersamaan menyaksikan image serangan teroris tersebut. Dengan segala efek kerusakan, kepanikan dan ketegangan yang ditimbulkan lewat berbagai media surat kabar, radio, televisi dan internet. Berbagai media itu telah menjadikan aksi terorisme tersebut sebagai sebuah tatanan global.

Di samping itu, aksi teror juga menimbulkan efek psikologi yang mendalam, berupa ketakutan, panik dan trauma yang sangat mendalam, tidak saja skala lokal tetapi juga global. Selain itu juga aksi teror telah memperlihatkan kepada dunia bahwa terorisme kini telah berkembang dalam paradigma strategi dan taktiknya ke arah apa yang disebut sebagai hiperterorisme, yaitu terorisme yang menguasai dan memanfaatkan berbagai bentuk teknologi mutakhir terutama kelemahannya: teknologi pengamatan seperti kamera dan televisi, teknologi pengawasan seperti radar, teknologi interaktif seperti internet dan teknologi komunikasi seperti telepon seluler.

Sementara itu, hal-hal yang melatarbelakangi munculnya terorisme sangat beragam, seperti penentuan sendiri, aksi bertahan terhadap rezim otaliter, keputusasan akibat tekanan sosial, ekonomi, maupun politik. Sementara itu, motifnya juga bisa beragam, bisa masalah politis, cinta segi tiga, persaingan bisnis, kriminal murni, dendam pribadi, atau motif yang lainnya, seperti ingin mengembalikan hak kemerdekaan, dan hak azazi manusia kepada bangsa yang terjajah, atau orang yang terusir dan terasing dari tanah airnya sendiri.

Menurut Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Vladimir Y. Plotnikov, ketidakadilan sosial serta kesenjangan ekonomi yang masih melanda dunia saat ini merupakan peletup munculnya aksi-aksi kekerasan sebagai respons atas perlakuan yang dipandang tidak memberikan keadilan. Kesenjangan ekonomi dan ketidakdilanlah yang menumbuhkan serta menyebarkan benih-benih kehadiran aksi terorisme internasional itu.

Munir, seorang aktivis HAM, menyatakan, suatu rejim otoriter adalah ibu dari segala bentuk terorisme. Karena dia berjalan sebagai suatu sistem yang berkuasa atas penderitaan rakyatnya di mana dia dikungkung oleh pelbagai persoalan-persoalan dan dia diberi kewenangan-kewenangan. Itu justru lebih berbahaya. Maka kasus Pakistan itu menunjukkan bagaimana Pakistan mendapat dukungan besar untuk berhadapan dengan Taliban sementara dia sendiri rejim hasil kudeta militer yang strukturnya tidak demokratis. Bagaimana demokrasi menutup mata terhadap problem otoriterianisme atas nama menghadapi terorisme.
Sementara itu, dilihat dari akar sejarahnya, maka istilah sering digunkaan untuk penyebutan kasus pembunuhan politis (igtiyal siyasi). Dalam sejarah, pembunuhan politis pernah dilakukan sekte al-Hasyastin, sekte sempalan yang dipimpin oleh Hassan al-Sabbah dari kelompok ekstrim Syi’ah Isma’iliyyah dan berafiliasi secara politik terhadap Daulah Fatimiyyah di Mesir. Dalam gerakannya, mereka cenderung sangat ekstrim dan militan.
2. Latarbelakang Terorisme; Akar Historis.
Latarbelakang munculnya terorisme sangat beragam, seperti penentuan sendiri, aksi bertahan terhadap rezim otaliter, keputusasan akibat tekanan sosial, ekonomi, maupun politik. Sementara itu, motifnya juga bisa beragam, bisa masalah politis, cinta segi tiga, persaingan bisnis, kriminal murni, dendam pribadi, atau motif yang lainnya, seperti ingin mengembalikan hak kemerdekaan, dan hak azazi manusia kepada bangsa yang terjajah, atau orang yang terusir dan terasing dari tanah airnya sendiri.
Banyak ahli menyatakan, bahwa terorisme internasional yang terjadi di dunia belakangan ini adalah disebabkan adanya faktor ketidakadilan dunia barat terhadap negara-negara Islam, di antaranya masalah penyelesaian konflik di Timur Tengah antara Israel dan Palestina. Dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina, AS terkesan selalu membela kaum Yahudi dengan menerapkan standar ganda. Apabila pihak Israel melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan perdamaian yang diperjanjikan sebelumnya, AS akan tetap bersikap lunak dan dingin saja terhadap Israel. Sebaliknya, apabila terhadap para pejuang Hamas Palestina yang melakukan perlawanan terhadap Israel, AS akan bersikap keras dan menekan pemerintahan Palestina. Selain itu, AS dengan kekuatan militernya menyerang Afghanistan, dengan dalih untuk menghancurkan dan menangkap Osama bin Laden yang ditengarai bermarkas di Afghanistan. Setelah berhasil memporakporandakan Afghanistan, AS melakukan invasi ke Irak yang berdaulat. Alasannya juga untuk memberantas terorisme, karena Irak dituding telah mengembangkan senjata pemusnah massal. Padahal menurut tim ahli persenjataan PBB, tidak ditemukan bukti Irak memiliki senjata pemusnah massal.
Menurut Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Vladimir Y. Plotnikov, ketidakadilan sosial serta kesenjangan ekonomi yang masih melanda dunia saat ini merupakan peletup munculnya aksi-aksi kekerasan sebagai respons atas perlakuan yang dipandang tidak memberikan keadilan. Kesenjangan ekonomi dan ketidakdilanlah yang menumbuhkan serta menyebarkan benih-benih kehadiran aksi terorisme internasional itu.
Munir, seorang aktivis HAM, menyatakan, suatu rejim otoriter adalah ibu dari segala bentuk terorisme. Karena dia berjalan sebagai suatu sistem yang berkuasa atas penderitaan rakyatnya di mana dia dikungkung oleh pelbagai persoalan-persoalan dan dia diberi kewenangan-kewenangan. Itu justru lebih berbahaya. Maka kasus Pakistan itu menunjukkan bagaimana Pakistan mendapat dukungan besar untuk berhadapan dengan Taliban sementara dia sendiri rejim hasil kudeta militer yang strukturnya tidak demokratis. Bagaimana demokrasi menutup mata terhadap problem otoriterianisme atas nama menghadapi terorisme.

Sementara itu, dilihat dari akar sejarahnya, maka istilah sering digunkaan untuk penyebutan kasus pembunuhan politis (igtiyal siyasi). Dalam sejarah, pembunuhan politis pernah dilakukan sekte al-Hasyastin, sekte sempalan yang dipimpin oleh Hassan al-Sabbah dari kelompok ekstrim Syi’ah Isma’iliyyah dan berafiliasi secara politik terhadap Daulah Fatimiyyah di Mesir. Dalam gerakannya, mereka cenderung sangat ekstrim dan militan.

3. Bentuk-bentuk Terorisme
Di antara bentuk tindakan terorisme yang palingpopuler saat ini adalah pengeboman. Namun kaum teroris sendirir sering menggunakan tindakan terror seprti pembunuhan, pemcukliakn, serangan bersenjata, pembanjakan dan penyaderaan serta pengguanaan senjata pembunuh massa (kimia, biologi, radioaktif, nuklir atau CBRN). Itulah sebanya sasaran terror tidak hanya merugikan individu, melainkan juga organisasi, komunitas tertentu bahkan negara. Perjuangan untuk menciptakan suasana yang menakutkan sehingga menimbulkan kekerasan dikalangan masyarakat. Sebagai contoh meluasnya ancaman teror bom diberbagai kota di Indonesia selama ini meski seringkali tidak sampai terbukti meledak, namun hal itu cukup berhasil menciptakan keresahan dikalngan masyarakat. Dalam perkembangannya terorisme dikenal dalam tiga bentuk menurut tujuannya yaitu: teror kriminal, teror politik dan teror negara.

Pertama, yang dimaksud dengan terror kriminal yaitu terror tang dilakuakn unutk memuaskan diri sendirir dengan kata lain terror kriminal ini hanya untuk kepentingan pribadi atau unutk memperkaya diri sendiri. Teror kriminal biasanya menggunakan kata-kata yang dapat menimbulkan ketakutan,menggunakan kekerasan serta mengintimidasai korbnnya.

Kedua, teror politik biasanya pelaku dari teror ini sanggup membunuh siapa saja dan tidak memilih-milih korabannya. Teror politik selalu siap melakukan pembunuhan terhadap orang-orang sipil baik anak-anak, dewasa, laki-laki ataupun perempuan tanpa mempertimbangkan politik moral. Terorisme politik sendiri memiliki ciri-ciri: (1) merupakan intimidasi koersif, (2) memakai pembunuhan dan destruksi secara sistematis sebagai sarana untuk menciptakan tujuan tertentu, (3) korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni “bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang”, (4) target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas, (5) pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal, (6) para pelakukebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras, misal “berjuang demi agama dan kemanusiaan”, maka hard-corde kelompok teroris dalah fanatikus siap mati.

Ketiga, terorisme negara yaitu bertujuan untuk menindas individu atau kelompok (oposisi) yang tidak dikehendaki oleh penindas atau rezim otoriter/totaliter dengan cara likuidasi. Teror negara ini juga mempunyai ciri-ciri, yaitu: (1) berkembang menjadi teror massa, (2) ada aparat teror, (3) polisi rahasia (4) teknik penganiayaan, (5) penyebaran rasa curiga di kalangan rakyat, (6) wahana untuk paranoia pemimpin.

Sedangkan menurut skala aksi dan organisasinya terorisme dapat dibedakan antara terorisme nasional, internasioanl dan transnasional. Pertama, terorisme nasional yaitu jaringan organisasi dan aksi terbatas oleh teritorial negara. Kedua, terorisme internasional yaitu untuk diarahkan kepada orang-orang asing dan aset negara, diorganisasikan oleh pemerintah atau organisasi yang lebih daripada satu negara, bertujuan untuk mempengaruhi kebijakankebijakan pemerintah asing. Ketiga, terorisme transnasional yaitu jaringan global yang mempersiapkan revolusi global unutk tatanan dunia baru (bagian dari terorisme internasional yang menjadi radikal).

4. Karakteristik Terorisme
Dalam menjalankan aksinya, terorisme dapat dilakukan oleh satu orang atau kelompok. Terorisme sebagai bentuk dari kejahatan kolektif, maka kejahatan ini tidak terlepas dari kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Para teroris biasanya memusatkan serangannya secara spesifik dan terperinci, sehingga tempat-tempat umum yang menjadi sasaran aksi mereka. Tidak saja perorangan yang menjadi korban atas tindakannya,melainkan segmen publik sebagai anggota masyarakat tersebut. Pelaku terorisme memandang kekerasan tidak saja sebagai tujuan, melainkan sebagai cara menunjukkan kekuatan dan ancaman terhadap seseorang atau kehidupan masyarakat.

Diterangkan dalam Pasal 6 Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massa, dengan cara merampas kemerdekaan atau nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”. Sudah dijelaskan dalam batang tubuh Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Terorisme pasal 6, yang menyebutkan bahwa ada enam unsur terorisme, yaitu :

• Setiap orang
• Dengan sengaja menggunakan kekerasan
• Menimbulkan suasana teror atau rasa takut
• Terhadap orang secara meluas, atau menimbulkan korban yang bersifat massal
• Dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa da harta benda orang lain.
• Atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyekobyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.

Memang diakui bahwa rumusan pasal 6 diatas begitu luas sehingga kekhawatiran dapat timbul. Supaya pasal yang mendefinisikan terorisme itu pasti, maka satu unsur perlu ditambahkan yaitu unsur situasional.

Menurut Jawahir Thontowi sebagai unsur situasional tersebut perlu dilakukan pada masa damai atau bukan suasana peperangan perlu disebutkan, sebab peperangan berakibat pada seseorang tentara atau civil untuk alasan bela diri (self defence) diperbolehkannya membawa senjata api termasuk granat dan bom.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu karakteristik utama dalam kejahatan terorisme adalah menggunakan kekerasan, seperti dengan cara menggunakan atau meledakkan bom, menganiaya atau menyakiti sandera guna menggapai misi yang dicita-citakan.

5. Sosiologi Terorisme.
Sudah menjadi opini umum, bahwa fundamentalisme agama merupakan faktor ideologis yang mendorong gerakan terorisme. Muhammad Sa’id al-Asymawi menulis bahwa istilah fundamentalis awalnya berarti umat kristen yang berusaha kembali ke asas ajaran Kristen yang pertama. Namun, dalam perkembangannya istilah ini mengalami perluasan makna yang digunakan untuk merujuk pada suatu tradisi umat Islam. Fredick M. Danny, agamawan Nasrani, mensinyalir adanya pertemuan istilah fundamentalisme yang semula berlaku dalam tradisi Kristen,kemudian berlaku dalam tradisi Islam terutama terkait dengan pemahaman yang literalistik terhadap kitab suci. Menurutnya istilah fundamentalisme menjadi populer yang ditujukan untuk kaum militan konservatif (kaum galak) muslim.
Pada dasarnya fundamentalisme dalam beragama itu baik, karena di dalamnya terkandung semangat untuk kembali pada ajaran asli agama. Tetapi jika dilihat dari gerakannya, kaum fundamentalis menjadi beraragam; ada gerakan puritanisme, ada gerakan revivalisme, dan ada gerakan radikal; atau dengan meminjam Al-Asymawy, ada rationalist spritualist fundamentalism dan ada activist political fundamentalism. Terhadap kelompok radikal inilah kemudian terma fundamentalisme mengalami pergeseran makna menjadi aliran yang keras dan rigid dalam menganut dan menjalankan ajaran formal agama, serta ekstrem dan radikal dalam berpikir dan bertindak.
Sebagian kelompok fundamentalis itu memang tidak berhenti pada penghayatan teologi skripturalistiknya semata, melainkan terus berlanjut pada sikap militan dalam beragama. Kita tahu bahwa militansi keberagamaan meniscayakan dua penyikapan secara sekaligus; positif dan negatif. Ke dalam, seorang militan akan bertindak positif bahwa kelompoknya adalah kawan dan teman seperjuangan yang harus dibela. Sementara, ke luar, ia akan bersikap negatif dengan memandang kelompok lain sebagai musuh dan ancaman yang harus diserang. Dengan langgam seperti itu, maka keragaman dan perbedaan yang seharusnya menjadi sumber kekayaan dan harmoni, di tangan kaum fundamentalis-militan ini berubah menjadi disharmoni. Atas dasar itu pula, maka data sejarah menyebutkan bahwa orang yang menjadi teroris “hampir selalu” diawali dengan sikap keberagamaan militan yang ghalibnya mengikatkan diri pada organisasi-organisasi agama yang militan dengan tokohnya yang militan pula.
Sampai di sini, dapat dikatakan bahwa pemahaman kaum fundamentalisme terhadap teks-teks al-Qur’an dan al-hadis secara literalistik menjadi salah satu faktor pemicu menguatnya isu terorisme dalam Islam.

C. Wacana Terorisme dalam Bingkai Benturan Peradaban Islam dan Barat.
Sejarah membuktikan bahwa antara Barat dan Islam telah terjadi persingungan bahkan beberapa “benturan kepentingan” akibat dari adanya faktor teologis, (perebutan bait al-maqdis), faktor politik, dan faktor ekonomi. Islam pada mulanya disebarkan melalui penaklukkan, maka Kristen-pun melakukan hal yang sama ketika mendapatkan kesempatan. Konsep yang paraler antara perang suci (salib) dan jihad adalah bukti fakta sejarah benturan teologis antara Islam dan Barat.
Sementara itu, menurut Huntingon terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konflik peradaban Islam dan Barat (Kristen), salah satunya adalah pertumbuhan penduduk muslim yang begitu pesat di satu sisi menyebabkan meledaknya angka pengangguran dan mendorong kalangan anak-anak dan pemuda untuk masuk menjadi anggota Islamis.
Pada tahun 1980-an dan 1990-an, terdapat suatu kecenderungan yang mengarah pada gerakan anti-Barat di kalangan umat Islam. Hal ini adalah konsekuensi kebangkitan Islam dan reaksi menentang westoksifikasi yang melanda umat. Dalam perkembanganya lebih lanjut, gerakan Islam fundamentalisme menemukan sebuah metamorfosis baru yang lebih berbahaya. Hal ini diandai dengan munculnya Al-Jama’ah al-Islamiyyah (JI). Sejak peristiwa 9/11 di AS, nama JI sering disebut dan menjadi tertuduh pelaku pengeboman di negara paman Sam tersebut.
JI dan yang sealiran dengannya memiliki cita-cita untuk membangun al-nizam al-Islami (sistem Islam dalam ketatanegaraan) sebagai alternatif dalam menangkis penetrasi intelektual Barat. Hal ini tentunya akan berbenturan dengan sistem demokrasi dalam Barat. Guna mewujudkan cita-cita itu JI dengan fundamentalisme-nya tidak canggung-canggung menampilkan agama dalam wajah yang menakutkan bagi kehidupan politik dan tidak menawarkan ajaran-ajaran yang universal. Hal ini tidak aneh, sebab dalam pandangan Bassam Tibi fundamentalisme agama memiliki agenda politisasi agama yang agresif dan dilakukan demi mencapai tujuannya saja. Bahkan fundamentalisme, baik Islam atau non-Islam merupakan bentuk superfisial dari terorisme atau ekstrimisme.
Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa gerakan Islam yang galak (ekstrim) menjadikan Islam dan Barat saling curiga. Islam menilai Barat sebagai lawan, begitu juga sebaliknya Barat memandang Islam sebagai ancaman. Salah satu solusi yang dapat ditawarkan dalam konteks ini adalah mewujudkan kesadaran dari kedua belah pihak (Islam dan Barat) akan pentingnya dialog peradaban. Sebab, selain mampu menekan seminimal mungkin benturan primordial baik primordial kebangsaan maupun keagamaan, dialog peradaban berarti juga masing-masing pihak dengan secara keterbukaan melakkukan sharing peradaban untuk menciptakan masa depan tatanann dunia yang lebih damai. Dalam dialog peradaban ini, perbedaan SARA tidak diposisikan sebagai faktor penyebab konflik, melainkan dikembangkan menjadi mozaik yang dapat memperkokoh bangunan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, persamaan derajat, dan kemanusiaan.
D. Kesimpulan.
Pertama, tuduhan terorisme yang dialamatkan kepada Islam sesunguhnya muncul sebagai akibat dari perilaku sebagian umat Islam sendiri yang cenderung ekslusif dan pemahamannya yang literalistik terhadap teks al-Qur’an dan hadis. Kedua, keberadaan kaum fundamentalisme baik Islam dan Kristen merupakan kendala bagi terciptanya hubungan baik antara Islam dan Barat, dialog antar peradaban adalah salah satu solusi yang dapat ditawarkan demi terwujudnya hubungan yang haronis di antara kedua belah pihak.

DAFTAR PUSTAKA

A.S. Hornby, Oxford Advanced Dictionary of Current English, Oxford: Oxford University Press, 1987.

Azyumardi Azra, “Islam Muslim dan Terorisme”, dalam Republika, Kamis 6 Maret 2008.

_________, “Jihad dan Terorisme”, dalam Islamika, Bandung: Mizan, 1997.
Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism Political Islam and the New World Disorder, California: The Regent of University of California, 1998.

Bernard Lewis, Islam and the West, New York: Oxford University, 1993.

Chandra Muzaffar.” Islam dan Batasan Sah dalam Memperjuangkan Keadilan” dalam Muslim, Dialaog dan Teror, Jakarta: Profetik, 2004.

Frederick M. Danny, Islam and the Muslim Community, New York: Herper&Row, 1987.

Haitsam al-Kailani, Siapa Teroris Dunia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.

Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, London: Greenwood, 1988.

Heinz Halm, Shi’ism, Edinbrug: Edinbrug University Press, 1991.

Ibn Manz\u@r, Lisān al-Ara@b, Beiru@t: Dār S}adr, t.t.

Idam Wasiadi, “Perjalanan Aksi Teror” dalam Jawa Pos, 25/10/ 2001.

Karen Armstrong, Holy War: The Crussader and Their Impact on to Day’s World (2001), Perang Suci; Dari Perang Salib hingga Perang Teluk, terj. Tim Serambi, Jakarta: Serambi, 2003.

Le Nouveau Petit Robert, Dictionnaire de la Langue Francaise, Montreal: Dicorobert Inc, 1996.

Muhammad Sa’id al-Asymawi, Islam and the Political Order, Washington: The Council for Research in Values and Philosophy, 1994.

Muhammad Salim al-‘Awwa, Fi al-Nizam al-Siyasi li al-Dawla fi al-Islam, Kairo: al-Maktabah al-Misri, 1983.

Muh}ammad Yusuf al-Qard}a@wi, Halal dan Haram dalam Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990.

MT. Al-Qadah, Aksi Bom Syahid dalam Pandangan Hukum Islam, Bandung: Pustaka Umat, 2002

Parluhutan Siregar, ”Problematika Terorisme dan Upaya Pemecahannya”, dalam Google.com.
Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 19889.

Qurt}u@bi. Al-, Al-Ja@mi’ li Ah}ka@m al-Qur’a@n, Kairo: Dār al-Sya’b, t.t.

Rahul Mahajan, The New Crusade: America’s War on Terrorism, New York: Monthly Review Press, 2002. Edisi Indonesia Perang Salib Baru; Amerika Melawan Terorisme atau Islam?, terj. Zaimul Am, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002.

Richard T. Antoun, Memahami Fundamentalisme: Gerakan Islam,Kristen, Yahudi, Surabaya: Pustaka Eureka, 2003.

Riswanda Imawan, “Bom Kahayangan”, Kedaulatan Rakyat, 17 Oktober 2002.

Samuel Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, London: Touchstone Book, 1998.

Satrio Aris Munandar, “Terorisme, Kekerasan, dan Posisi Gerakan Islam di Timur Tengah”, dalam Islamika

KONSEP KENABIAN TELAAH KOMPARATIF ANTARA TRADISI ISLAM DAN KRISTEN

KONSEP KENABIAN

TELAAH KOMPARATIF ANTARA TRADISI ISLAM DAN KRISTEN
Oleh: Shohibul Adib, S.Ag. M.S.I.

A. Pendahuluan.
Pluralitas keagamaaan dimanapun di dunia ini, kecuali ditempat-tempat tertentu, adalah realitas yang tidak mungkin diingkari. Kontak antara komunitas-komunitas yang berbeda agama semakin meningkat. Hampir tidak ada belahan bumi sekarang ini kelompok masyarakat yang tidak pernah mempunyai kontak dengan kelompok lain yang berbeda agama. Pluralitas yang telah menjadi gejala global ini terjadi pada 1980-an, dimana dunia tidak bisa menolak hancurnya batas-batas budaya, ras, bahasa dan geografis. Dari segi sosiologis realitas ini menunjukkan bahwa manusia sudah berada dalam lingkaran globalisme, dengan ciri pluralisme etnis dan agama. Realita ini juga sering disebut dengan global village untuk menunjukkan betapa kecilnya bumi. Dengan demikian maka benarlah jika dikatakan bahwa pluralitas keagamaan, sebagaimana pluralitas-pluralitas lain seperti pluralitas etnik, pluralitas kultural, pluralitas bahasa, adalah semacam hukum alam. Mengingkari pluralitas keagamaan sama saja mengingkari hukum alam. Yang menjadi persoalan adalah bukan keberadaan pluralitas keagamaan melainkan bagaimana sikap kita terhadap pluralitas itu? apakah kita menghormati, menghargai, memelihara dan mengembangkan pluralitas? Apakah masing-masing kita mampu hidup berdampingan secara damai dan bersahabat dengan orang atau kelompok lain yang berbeda agama tanpa harus membenci dan memusuhi? Tulisan ini tidak mencoba mengkaji masalah pluralitas agama, melainkan mengkaji masalah konsep kenabian dalam Islam dan Kristen. Dengan mengetahui konsep dan fungsi kenabian dalam tradisi Islam dan Kristen, diharapkan kita bisa lebih arif dalam memandang perbedaan dan persamaan antar agama hatta kita rela (ikhlas) ziarahi alam pluralitas itu sendiri, menghiasi pluralitas dengan indahnya bunga yang beraneka warna. Amin.

B. Pengertian Istilah Nabi dan Rasul dalam Tradisi Islam dan Kristen.
Kata nabi berasal dari bahasa arab naba’ yang berarti warta (al-khabar, news), berita (tidings), informasi (information), laporan (report). Dalam bentuk transitif (anba’a ‘an) ia berarti memberi informasi (to inform), meramal (to predict), to foretell (menceritakan masa depan). Bentuk jamak dari istilah ini adalah nabiyyun dan anbiya’, sedangkan nubuwwah adalah bentuk al-masdar (kata benda, noun) dari na-ba-‘a yang berarti kenabian (prophecy, ramalan atau prophethood, kenabian), sifat (hal) nabi, yang berkenaan dengan nabi.
Dalam bahasa Inggris, nabi biasa disebut dengan prophet yang berarti seseorang yang mengajarkan agama dan mengklaim, mendapatkan inspirasi dari Tuhan dan prophetess sebutan untuk nabi perempuan, sedang dalam bahasa Yunani prophetes berarti orang yang mengkomunikasikan wahyu Tuhan. “kata Prophetes diterjemahkan ke dalam bahasa Hebrew menjadi kata nabi. Secara etimologis, kata ini berarti “memanggil”, “berbicara keras”. Ada juga yang secara langsung mengartikan sebagai “orang yang dipanggil Tuhan untuk berbicara atas nama-Nya”.
Secara istilah, kata nabi memiliki banyak definisi. Nabi adalah seseorang yang menerima wahyu dari Allah melalui perantaraan malaikat atau ilham maupun mimpi yang benar. Mereka juga adalah mubasyir (pembawa berita baik, yakni tentang ridha Allah dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat bagi orang-orang yang mengikutinya dan munzir (pemberi peringatan, yakni balasan mereka dan kesengsaraan bagi mereka yang ingkar (Qs: al-Baqarah (2): 213).
Rasul (ar-Rasul, apostol) adalah istilah yang melekat erat ketika kia mengkaji masalah kenabian. Dalam pemakaiannya, banyak pemikir yang menyamakan dan banyak pula yang membedakannya. Para pemikir Muslim yang tradisionalis melakukan pembedaan terhadap dua istilah ini (nabi dan rasul) dilihat dari segi fungsinya. Nabi adalah utusan Allah yang tidak membawa hukum (al-Syari’ah) dan mungkin juga kitab-Nya kepada umat manusia, sedangkan ar-Rusul jama’ dari kata rasul secara bahasa adalah utusan Tuhan yang membawakan hukum dan kitab-Nya. Dalam konteks yang lebih masyhur, nabi adalah orang yang menerima wahyu dari Tuhan tanpa kewajiban menyampaikannya kepada orang lain, dan rasul adalah orang yang menerima wahyu dengan kewajiban menyampaikan risalahnya kepada orang lain.
Dalam pandangan Murtadha Muthahari seorang nabi adalah manusia yang bertindak sebagai penerima dan kemudian menyampaikan pesan-pesan Tuhan (baca: wahyu) kepada umat manusia. Nabi adalah manusia pilihan yang memenuhi prasyarat untuk menerima pesan-pesan tersebut dari alam ghaib. Pengiriman para nabi atau rasul oleh Tuhan merupakan perwujudan adanya garis perbedaan Tuhan dan makhluk. Dalam hal ini, Hammudah Abda Tali menyatakan bhwb tujuan kenabian adalah menunjukan apa yang harus atau apa yang dapat diketahui manusia danmengejar apa yang tidak dan atau belum diketahui dan dimengerti.
Terlepas dari perdebatan di atas, kedua kata di atas digunakan dalam al-Qur’an. Terkadang disebut nabi, pada waktu lain disebut rasul, dan adakalanya dipakai secara bersamaan.
Hal yang layak dicatat mengenai pemberian definisi yang dilakukan oleh kebanyakan pemikir muslim di atas, yang telah mapan dan telah menjadi dogma, adalah sikap mereka yang sangat anti feminis dimana nabi dan rasul bagi mereka adalah manusia laki-laki, bukan manusia perempuan.
Sementara itu, dalam tradisi Kristen ditinjau dari sudut etimologis arti kata “nabi” masih diperdebatkan. Namun, pada umumnya orang berpendapat bahwa kata ini berasal dari kata akadis (nabu-m) yang berarti ”mengangkat, menunjuk atau memanggil”. Dalam bahasa Akadia yang berarti duta atau utusan, penyambung lidah. Adapun dalam bahasa inggris disebut Prophet, yakni orang pilihan Allah, Pelihat dan Pewarta, dalam bahasa Yunani disebut Propethes berarti seseorang yang berbicara terhadap yang lain atau penerjemah, atau orang yang berbicara sebelumnya (sebelum suatu peristiwa terjadi), yang berbicara atas nama seseorang. Dengan kata lain, nabi dapat diartikan sebagai orang yang dipanggil untuk berbicara atas nama Tuhan.
Istilah Prophetes sudah digunakan sejak abad ke-5 SM, guna menunjukkan kegiatan bagi orang yang mencoba memahami dan menafsirkan kehendak Illahi dengan berbagai cara. Peranan nabi itu tampaknya menjadi peranan dalam hidup keagamaan yang publik dan memiliki kedudukan yang istimewa. Terdapat istilah lain yang lebih menunjuk kepada mantra, tenun, sihir dan pengantara antarav orang yang masih hidup dengan orang yang sudah mati. Orang yang memiliki kekuatan seperti itu dan mencoba menjelaskannya, disebut Mantis. Baik Prophetes maupun Mantis bisa terjadi pada diri pribadi namun istilah yang terakhir terutama digunakan untuk orang yang mampu melihat masa depan. Maka dalam hal ini, kenabian dalam Kristen bukan pertama-tama sebagai gejala meramal masa depan atau gejala menafsirkan hal-hal yang tersembunyi seperti dalam klenik, melainkan lebih sebagai suatu sarana untuk memahami dan mengentarai wahyu Tuhan dan kehendak-Nya, atau jika berbicara tentang masa depan dan nasib bangsa mereka mendasarkan pada pengamatan apa yang terjadi pada waktunya. Maka jika para nabi itu berbicara mengenai masa depan, itu tidak soal menerka atau meramal, melainkan menafsirkan masa depan dan tanda-tanda zaman bagaimana Tuhan berkarya ini.
Lebih lanjut, jika dikaitkan dengan kata Akadis (nabu-m), masih diperdebatkan apakah “nabi” haruslah diartikan secara aktif, yakni “pembicara, pewarta”, atau secara pasif, orang yang diangkat, ditunjuk, dipanggil atau dipercayakan dengan suatu pesan. Berdasarkan pembentukan kata-kata yang serupa dalam bahasa Ibrani, kebanyakan ahli berpendapat bahwa kata “nabi” haruslah dimengerti menurut arti pasifnya. Dengan demikian, “nabi” adalah orang yang dipanggil dan diutus Tuhan dengan suatu tugas tertentu. Dia diutus untuk mewartakan sabda Tuhan dan dengan itu menjadi penyambung lidah-Nya. Demikian juga artinya sekarang yang diterima dalam dunia Kristen. Namun, sikap hati-hati perlu dilakukan karena dalam kitab suci (Bibel) kata ini sering kali digunakan untuk orgbv-orang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan penyampaian sabda Tuhan dan bahkan untuk orang-orang yang sama sekali berada di luar fenomena ini.
Dalam Perjanjian Lama, nabi adalah orang, baik laki-laki atau perempuan yang memberitakan pesan-pesan Tuhan kepada bangsa Israel. Pesan-pesan ini didapat secara istimewa dari Tuhan dengan penglihatan (Zakharia) bisikan suara (Yesaya) tapi selalu dari Tuhan. Dalam peranjian baru, pengertian nabi lebih luas, yakni mereka yang menerima karunia untuk bernubuwat (Kis. 13. 1 RM. 12.6 1 Kor. 12.10) dan setiap orang percaya diberi jabatan kenabian karena mengetahui kehendak-Nya. Adapun rasul dalam bahasa Yunani berarti utusan. Dalam artian, rasul adalah keduabelas murid Yesus, (dengan Paulus) yang dipersiapkan dan diangkat Yesus untuk diutus dan menjadi saksi dari kisahnya. Dalam pengertian yang lebih luas, rasul menunjuk pada Kristus (Lbr. 3.1 dan pembantu-pembantu paulus).
Para rasul ini memiliki tanggungjawab yang urgen, yakni meneruskan pekerjaan Yesus setelah ia kembali ke surga. Reputasi mereka akan terus mempengarhi sejarah gereja walau mereka sudah meninggal. Oleh karenanya, pemilihan ke-12 orang itu merupakan tanggungjawab yang besar “pada waktu itu pergilah Yesus ke Bukit untuk berdo’a dan sepanjang malam ia berdo’a kepada Allah lalu memilih di antara ke-12 orang tersebut, yang disebutnya ‘rasul” (Luk. 6. 12-13).
Dalam Kamus Teologi dijelaskan bahwa nabi adalah orang yang dipengaruhi oleh ruh Allah untuk berbicara atau bertindak dengan cara-cara tertentu. Dalam menafsirkan peristiwa-peristiwa lampau dan sedang terjadi dan dalam mewartakan peristiwa yang akan datang, para nabi perjanjian lama berbicara dari kedalaman pengetahuan akan Allah. Mereka mewartakan kesetiaan kepada Perjanjian dan menentang pelaksanaan hukum secara lahiriyah saja.
Dari uraian di atas, tampak terdapat kesamaan konseptual antara nabi dalam Islam dan Kristen sebagai orang yang mendapat wahyu, inspirasi dalam berbagai bentuknya, untuk disampaikan kepada umatnya, dan terdapat beragam term rasul. Dalam konteks Islam, rasul memiliki kedudukan yang penting seperti nabi; dalam Kristen, rasul adalah penerus Yesus dalam meneruskan misinya yang berjumlah 12.

C. Fungsi Kenabian dalam Islam dan Kristen.
Dalam tradisi kenabian Perjanjian Lama, tugas dan peranan pokok panggilan kenabian adalah mengingatkan bangsanya (Israel) yang lupa akan perjanjian cinta dengan Tuhan, sekaligus menyerukan pertaubatan. Selain itu, nabi juga bertugas menyampaikan ancaman hukuman atau bencana yang akan etrjadi jika Israel tidak bertaubat atau mendapat berkat jika mereka bertaubat.
Melihat fakta sejarah yang ada, dalam Kristen terdapat upaya untuk memahami kenabian sebagai fenomena keagamaan yang cukup kompleks. Maka, guna mendapatkan pengertian yang jelas tentang kenabian dan fungsinya secara keseluruhan, kita perlu menempatkan setiap angkatan para nabi dalam konteks sosio budayanya masing-masing. Dalam PL, sebagaimana diketahui, para nabi di Israel datang secara bergelombang kurang lebih 8 abad. Sebagai saksi-saksi dari masa-masa yang sangat beragam dalam sejarah bangsanya, para nabi mengembangkan teologi yang berbeda-beda, dengan menitikberatkan pada hal yang berbeda bahkan pada hal-hal yang saling berlawanan. Secara garis besar, kenabian Israel dapat dibagi ke dalam lima periode, yakni: pertama, nabi-nabi pertama; Teologi Janji, atau dalam istilah lain Nabi-nabi Perintis, yaitu nabi asli dari zaman para raja atau akhir zaman pada hakim (abad 10 SM) sampai permlaan abad 8 SM. Yang dimaksud nabi periode ini adalah nabi-nabi yang muncul sebelum Amos yang pewatan serta karyanya tidak dibukukan secara terpisah dan diberi judul dengan namanya. Perutusan mereka diketahui hanya dari karya sejarah Deuteronomist. Mereka adalah nabi Samuel dan nabi Natan yang melaksanakan karunia kenabiannya diistana Kerajaan nabi Daud (1010-970 SM) dan Raja Solomo (970-971 SM) masa yang palingv agung dalam sejarah Israel, di mana Yahweh berjanji akan mengangkat seorang keturunan Adam dan Hawa yang akan mengalahkan ular (Kej 3.15).
Periode ini cukup panjang yakni mulai dari akhir zaman para hakim hatta kematian Elisa atau mulai (1050-797 SM) kurang lebih 2 setengah abad. Maka fenomena kenabian yang tampak tidak tungal namun majmuk. Kenabian perintis ini terdiri dari beberapa fase dan memiliki banyak bentuk dan wajah, yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.
Kedua, Nabi-nabi besar. Teologi Perjanjian (Nabi sebelum pembuangan pada pertengahan abad ke-8 SM hatta masa pembuangan 586 SM. Di antara nabi-nabi sebelum pembuangan adalah nabi Amos, Hoseya, Mikha dan Yesaya, dan nabi-nabi masa pembuangan yaitu Yeremia, Nahum, Habakuq, zevania, Yehezekil. Mereka ini biasa disebut nabi-nabi klasik, yakni nabi-nabi kelas satu atau pertama jika orang berbicara mengenai kenabian dan nabi-nabi yang paling berpengaruh dan memberikan arti yang sebenarnya apa yang disebut nabi. Mereka melakukan teriakan protes, kata peringatan kepada semua orang yang memanfaatkan kesetiaan Yahweh, dan sekaligus menjauhkan diri darinya. Memang, para nabi tidak meragukan janji Yahweh kepada nenek moyang, namun mereka menekankan pentingnya bagi umat untuk menjawab panggilan Yahweh dengan bebas. Inspirasi umum yang menyemangati suara para nabi besar, sekaligus membedakan mereka dengan semua nabi yang mendahuluinya adalah keyakinan bahwa kesetiaan Yahweh itu bersarat. Ia memilih umatnya, menjanjikan keturunan serta tanah kepadanya, melindungi mereka terhadap bangsa-bangsa lain, namun dengan sarat Israel memenuhi tuntutannya untuk vbertaubat, jika tidak Yahweh akan menyerahkan umatnya pada bangsa-bangsa lain. Hubungan antara Yahweh dengan umatnya tidak sepihak, namun mengandung kesetiaan pada keduabelah pihak. Namun, secara memalukan israel melupakan kebenaran ini.
Ketiga, kembali dari pembuangan; para nabi yang optimis (abad ke-6 SM) pada akhir pembuangan muncul angkatan nabi baru di Israel. Perkataan mereka sama sekali bertentangan dengan nubuwat malapetaka para nabi besar. Pelaksanaan kedaulatan Yahweh serta pengalaman yang kokoh akan kemuliannya tetap menyemangati mereka. Namun, mereka mengambil kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbeda untuk zaman mereka. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada sabda nabi-nabi ini janji lama yang telah bersemi diikrarkan kpd leluhur dihidupkan kembali. Zaman pembuangan hanya sebagai selingan saja dan Yahweh tetap setia.
Keempat, para nabi dari “Sisa” serta dari “kaum miskin Yahweh” (abad ke-5 SM dan ke-4 SM). Setelah berlalunya para nabi abad ke-6 SM muncullah kekecewaan-kekecewan baru. Sejumlah kecil orang yang pulang dari pembuangan merasa diri minoritas di tengah bangsa yang makin lama makin tidak setia kepada Yahweh. Mereka merasa ditinggalkan oleh Allah. Kondisi ini memunculkan dua aliran kenabian yang berbeda. Satu, teologi (sisa Israel), yang lebih menampakkan kelanjutan paham dari nabi besar klasik (teologi perjanjian), namun telah diperbaharui. Di mana teologi ini telah mengintegrasikan penderitaan Israel secara positif serta menghasilkan suatu janji pemulihan. Para nabi “sisa” pun memandang penderitaan bangsa sebagai akibat dosanya, akan tetapi penderitaan ini penting dan bersifat positif untuk memurnikan bangsa serta mendidik mereka. Dua, teologi kaum miskin Yahweh yakni orang-orh yang dikejar, dihina, umat-umat kecil dari orang beriman yang merasa diri terancam (Bdk. Yer 42, 3:5,2,14). Mereka yakin dirinya benar dimata Yahweh dan saudara-saudara mereka yang mengejar telah meninggalkannya. Kaum miskin ini tidak lagi mengharapkan keselamatan lewat pertaubatan Israel, melainkan mengharap Yahweh sendiri yang membebaskan mereka serta menghukum saudara-saudara mereka, dan Yahweh akan setia janji yang pernah diikrarkan kepada keturunan Daud, kaum miskin segera dibangkitkannya.
Kelima, para nabi Apokalips/akhir zaman (abad ke-2 Sebelum Kristus). Nabi-nabi terkahir PL bangkit didesak oleh suatu kondisi dimana umat yang tetap setia kepada Yahweh menghadapi godaan baru. Ketika Yahweh tetap berdiam saja, sedangkan pengawasan bangsa-bangsa besar semakin ketat, maka mereka mulai berinkulturasi serta mengambil alih adat-istiadat bangsa Yunani di sekitar mereka.disebut nabi Apokalips dalam istilah sejarah tiba-tiba mereka dipindahklan ke akhir zaman. Mereka mewahyukan apa yang akan terjadi pada akhir zaman. Pada waktu itu, Yahweh akan memperbaharui semuanya dan memulihkan umatnya. Yahweh akan bertindak sebagai raja serta kerajaannya tidak akan berakhir.
Dari uraian di atas, tampak wacana kenabian dalam tradisi Kristen kelihatan lebih rumit, sekaligus dinamis dan progresif dibanding dalam tradisi Islam. Dalam Kristen, citra seorang nabi lebih kompleks. Para nabi dalam PL mendapatkan berbagai nama yang berbeda: orang Pilihan Allah, dan Pewarta. Istilah yang beragam ini menunjukkan citra yang berlainan secara dasariah, baik dari jati diri maupun dari segi peranan yang mereka jalankan.
Selain itu, nabi juga digambarkan sebagai reformator sosial, yang tampil membawa reformasi sosial, bahkan revolusi, seperti tokoh Natan yang menghadapi Daud dengan keberanian, yakni dengan menunjukan kesalahan Daud merebut Batsyeba isteri Uria dengan cara yang tidak semestinya ( 2 Sam 12), Elia yang digambarkan sebagai kritkus raja Ahab yang menyerobot tanah milik Nabot hanya untuk mendapatkan kebun Anggur (1 Raj 21), dan juga Amos dan Mikha yang berjuang untuk membela keadilan. Bahkan nabi dalam tradisi Kristen ada yang dicitrakan sebagai pejabat, misalnya Hagai dan Zakharia yang sangat berkepentingan dengan dibangunnya Kenisah sebagai pusat ibadah.
Dalam konteks Islam, Muhammad saw. adalah nabi ygdikenal sebagai tokoh reformasi terhadap sistem kepercayaan dan sosial masyarakat yang dianggap telah menyimpang. Penyelewengan keimanan dan sosial jelas merupakan bidang garap reformasi oleh para nabi dalam suatu masyarakat.
Sejarah mencatat bahwa Makkah pada zaman Nabi lahir, adalah salah satu pusat perdagangan dan transaksi komersial internasional. Keadaan ini melahirkan Makkah menjadi pusat kapitalisme, yakni terbentuk karena proses korporasi antar klan, yang menguasai dan memonopoli perdagangan kawasan Bizantium. Watak kapitalisme yang mengakumulasikan kapital dan memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari budaya kapitalisme tersebut, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Makkah, yakni semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin.
Dalam konteks inilah sesungguhnya Muhammad lahir, yang oleh Ziaul Haque disebut sebagai pahlawan revolusioner pertama dari zaman modern, karena Muhammad melihat dengan jelas bahwa pertentangan abadi antara kebaikan dan kejahatan, dalam bentuk sosial dan ekonominya, sesungguhnya adalah sebuah perjuangan kelas, sebuah pertentangan antara orang-orang yang dieksploitasi dan yang mengeksploitasi, hamba dengan tuan-tuan, dan antara kaum lemah dan yang kuat, membela kaum miskin, para budak dan para tukang.
Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa perlawanan terhadap Muhammad oleh kaum kapitalis Makkah, sebenarnya lebih karena ketakutan terhadap doktrin egalitarian yang dibawakan oleh Muhammad. Oleh karena itu persoalan yang timbul antara kelompok elite Makkah dan Muhammad sebenarnya, bukan seperti yang banyak diduga umat Islam, yakni hanya persoalan “keyakinan agama”, namun lebih, yakni bersumber pada ketakutan terhadap konsekuensi sosial ekonomi, dari doktrin Muhammad yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan dan monopoli harta, penimbunan dan pemborosan. Hal ini tampak dalam sunnahnya, yakni:
من احتكر طعاما أربعين يوما يريد به الغلاء فقد برئ من الله وبرئ الله منه.
Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan maksud untuk menaikkan harga, maka ia telah berlepas dari Allah, dan Allah juga berlepas darinya.

Larangan Muhammad terhadap penimbunan barang untuk menaikkan harga tersebut kemudian diserukan oleh sahabatnya Abu Zar (seorang pencetus pemikiran sosialistik Islam periode Muhammad) sebagai berikut:
Hari demi hari, aristokrasi, eksploitasi, kemubaziran, kemiskinan, jarak serta perpecahan masyarakat dan golongan, keretakan, menjadi semakin besar, dan propaganda Abu Zar tumbuh makin lama makin luas, yang menyebabkan rakyat jelata dan golongan yang tertimpa eksploitasi menjadi lebih tergoncang. Orang-orang yang lapar, mendengar dari Abu Zar bahwa kemiskinan mereka bukanlah takdir Tuhan yang tertera di dahi dan merupakan ketetapan nasib serta takdir di langit: penyebabnya adalah Kinz, penimbunan modal.

Dalam kaitan ini sesungguhnya misi utama Muhammad adalah dalam rangka membebaskan masyarakat dari segala bentuk penindasan dan ketidak adilan. Inilah karakteristik sosialime Islam yang terwakili oleh hadirnya para nabi yang memiliki tujuan untuk membebaskan kaum lemah dan tertindas, memproklamasikan kebenaran, membangun orde-orde sosial atas dasar kesamaan hak, keadilan sosial, dan persaudaraan.
Dengan demikian, Muhammad hadir di tengah masyarakat bukan sekedar mengajarkan kepatuhan kepada Tuhan atas wahyu yang dibawakannya. Namun, Muhammad juga memobilisasi dan memimpin masyarakat untuk melawan ketimpangan sosial. Dalam iklim masyarakat kapitalistik-eksploitatif, Muhammad bersama para pengikutnya kaum tertindas berjuang untuk menyuarakan persamaan, persaudaraan, dan keadilan. Dengan demikian, dapat dikatakan sebagaimana pendapat Agus Salim bahwa Muhammad sudah mengajarkan sosialime sejak seribu dua ratus tahun sebelum Karl Marx.

D. Natijah.
1. Terdapat kesamaan konseptual antara nabi dalam Islam dan Kristen sebagai orang yang mendapat wahyu, inspirasi dalam berbagai bentuknya, untuk disampaikan kepada umatnya, dan terdapat beragam term rasul. Dalam konteks Islam, rasul memiliki kedudukan yang penting seperti nabi; dalam Kristen, rasul adalah penerus Yesus dalam meneruskan misinya yang berjumlah 12.
2. Tradisi Islam dan Kristen memiliki kesamaan dalam melihat fungsi kenabian, yakni menyampaikan sabda Tuhan, memberitahukan kehendak-Nya dan mengajak kepada kebaikan. Sementara perbedaan hanya terletak pada cerita atau kisah yang dihadapi oleh masing-masing nabi. Hal ini terjadi karena cara pandang yang berbeda mengenai latar belakang sosial budaya masyarakat yang dihadapi oleh nabi itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. Taufik (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Van Houve, 2000.

Asyqar. Umar Sulaiman al-, Ar-Rusul wa ar-Risalah, Kuwait: Maktabah al-Falah, 1985.

Aune David. E., “Prophet, Prophecy”, dalam Everett Ferguson (ed.), Encyclopedia of Early Christianity, New York: Garland Publishing, Inc, 1997.

___________, Prophecy in Early Christianity and the Ancient Mediterranean World, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, t.t.

Bacq. P., Seri Pastoral 233: Kenabian dalam Gereja Sekarang, Yogyakarta: Pusat pastoral Yogyakarta, 1994.

Bahgdady. Abu Mansur Abdul Qahir ibn Thair al-Tamimy al-, Kitab al-Ushul al-Din, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1981.

Bazdawy. Abu al-Yusr Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-, Kitab Ushul al-Din, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1963.

Berthold Anton Pareira, Nabi-nabi Perintis Pengantar Kitab-kitab Kenabian, Yogyakarta: Kanisius, 1985.

Darmawijaya, “Nabi sebagai Reformator”, dalam Hak Azasi Manusia: Tantangan Bagi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1998.

___________, Para Rasul Yesus Kisah Kelompok 12, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

___________, Tindak Kenabian; Kisah Perbuatan Aneh Para Nabi, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

___________, Warisan para Nabi, Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Depag., 1987-1988.

Fahd. T., “Nubuwwa”, dalam Benard Lewis (ed.), The Encyclopedia of Islam, Leiden: t.p., 1995.
Farrugia. Gerald O’Collins dan Edward G., Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Haque. Ziaul, Revelation and revolution in Islam, New Delhi: International Islamic Publisher, 1992.

___________, Revolusi Islam di Bawah Bendera Laaillaahaillallah, t.tp.: Darul Falah, 2000.

___________, Wahyu dan Revolusi, terj. E. Setiyawati al-Khattab, Yogyakarta: LkiS, 2000.

Hornby. A. S., Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (ed.) Crowther, Oxford: Oxford University Press, 1995.

Kerr. David A., “Prophethood” dalam John L. Esposito (ed.), Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995.

Mahmud. Syaikh Abdullah bin Zaid Ali, Al-Ittikhaf Ahfiya’ bi Risalah al-‘Anbiya’, Qatar: Ri’asah al-Mahakim asy-Syar’iyyah wa as-Syu’un ad-diniyyah, 1991.

Manzur. Ibn, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Sadhr, t.t.

Muthahari. Murtadha, Falsafah Kenabian, Jakarta: Pustaka Hidayah 1991.

Nwahaghi. Felix N., “Priesthood and Prophecy in Judeo-Christian Religion”, dalam Journal of Dharma 15, 1990.

Packers. J.I, cs. Dunia Perjanjian Baru, Surabaya: YAKIN bekerjasama dengan Malang Penerbit Gandum Mas, 1993.

Resesi. Laurent, “Apakah Sang Nabi Itu?” dalam Rohani, Tahun XLII, No. 10 Oktober 1995.

Sawyer. John FA., Prophecy and the Biblical Prophets, Oxford: Oxford University Press, 1993.

Shabuny. ‘Ali as-, An-Nubuwwah wa al-Anbiya’, Beirut: ‘Alim al-Kutub, 1985.

Shihab. Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997.

Soedarmo. R., Kamus Istilah Teologi, Jakarta: Gunung Mulia, 2001.

Suyuthi. As-, Al-Jāmi’ al-Shāghir, Ahādis al-Basyir an-Nadzir. (Indonesia: Maktabah Dar Ihya’ al-Kutūb al-Arabiyyah, t.t.

Syari’ati. Ali, Abu Zar, Suara Parau Menentang Penindasan, terj. Afif Muhammad, Bandung: Muthahari Paperbacks, 2001.

Tali. Hammudah Abda, Islam dalam Sorotan, terj. Anshari Thoyib, Surabaya: Bina Ilmu, 1981.

Tim Paramadina, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, Jakarta: Paramadina, 2004.

Tim, “Buku Putih” (G.30-S Pemberontakan PKI), Jakarta: Sekneg, 1994.

Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Tulus. Alam, Muhamad Mengajarkan Sosialime Jauh Sebelum Karl Marx, dalam Media.isnet.org.Akses tanggal 22 Desember 2007.

Wehr. Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1971.

Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Jakata: Rineka Cipta, 1992.

DISKURSUS EPISTEMOLOGI BARAT DAN ISLAM

DISKURSUS EPISTEMOLOGI BARAT DAN ISLAM
(Telaah Signifikansi Filsafat Ilmu terhadap Studi ke-Islaman)
Oleh: Dr.Shohibul Adib, S.Ag. M.S.I

A. Pendahuluan.
Pengetahuan (knowledge atau ilmu) adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari “berpikir”. Berpikir (natiqiyyah) adalah sebagai differentia (fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan “barangkali” keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya, karena manusia adalah hewan yang berpikir (hayawan an-nathiq). Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Begitu urgennya, sehingga ketika pengetahuan manusia mengalami kemunduran, maka tidak sedikit manusia yang mencoba mengkritisi, mencari tahu persoalannya kemudian merumuskan solusinya. Hal ini lah yang tampak dalam perkembangan pemikiran ke-Islaman.

Dalam konteks Islam, sejarah menunjukkan bahwa saat ini dunia Islam memiliki watak keilmuan yang stagnan dan atau statis. Para cendekiawan muslim kontemporer berpendapat bahwa dalam Islam telah ada semacam “indoktrinasi” terhadap khazanah warisan keilmuan klasik. Mereka antara lain M. Arkaoun, menurutnya dalam Islam telah terjadi pensyakralan pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar addiniyyah), hal ini karena wacana Al-Qur’an yang semula bersifat terbuka, poly-interpretable (multi-interpretation) memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas, historis-spiritual, dan elastis, kini berubah menjadi bersifat tertutup, final, a-historis dan kaku (rigid). Al-Jabiri yang meneliti secara khusus sistem-sistem pengetahuan yang dikembangkan dalam Islam, menemukan bahwa ummat Islam selama ini masih terbelenggu dengan sistem bāyani yang dikontraskan dengan sistem pengetahuan ‘irfani dan burhāni. Sistem bāyani yang dominan tersebut tidak lain merupakan warisan produk klasik yang telah berurat dan berakar. Ia menyesalkan mengapa umat Islam masih saja terus mengadopsi secara taken for granted tanpa adanya filterisasi, “yang kita inginkan bukanlah warisan seperti yang dipahami oleh nenek moyang kita dahulu atau seperti yang termaktub dalam naskah-naskah kuno”.
Berangkat dari kesadaran terhadap watak pemikiran Islam yang statis tersebut, maka tidak aneh jika kemudian muncul pemikir-pemikir muslim liberal dan kritis, mereka antara lain Fazlur rahman (Pakistan), M. Syahrur (Syiria), Yusuf Qardawi (Qatar), Ali Jumu’ah, Djamaluddin dan Nasrh Hamid Abu Zayd (Mesir) dan di Indonesia ada Hasby Ashsiddiqiey, Munawir Sadzali Ahmad Azhar Basyir dan Nurcholis Madjid, dan lain-lain.
Namun ide pemikiran brillian mereka berupa pemikiran ulang (re-Thingking) atau pembaharuan (Tajdid) bukannya disambut, melainkan dicemooh dan tak jarang diisolasikan dari percaturan pemikiran Islam, bahkan sampai vonis pada kekafiran berfikir, hal ini karena corak pemikiran mereka yang dianggap liberal bahkan kafir. Mereka antara lain Fazlur Rahman, ia terpaksa harus “hengkang” dari Pakistan menuju Kanada setelah ide-idenya, terutama setelah ia menjabat sebagai Direktur Pusat Lembaga Riset Islam, di pandang kontroversial dan sulit diterima oleh mayoritas masyarakat di negaranya. Madjid ketika menyusun sebuah buku bersama koleganya berupa Fiqih Lintas Agama juga mendapat hujatan bahkan vonis kekafiran berfikir.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sumber kritisisme atas kegelisahan intelektual mereka memiliki akar, serta bertumpu, pada permasalahan epistemologi. Permasalahan yang dispesifikasikan dalam term metodologi ini pada dasarnya memang menjadi poros bagi tumbuhnya wacana-wacana modernitas. Epistemologi adalah sebuah persoalan yang mendasar dalam setiap bangunan keilmuan, sebab ia mempertanyakan atau mengkaji secara filosofis tentang asal mula, susunan, metode-metode, validitas pengetahuan, teori-teori dalam ilmu pengetahuan, dan segala sesuatu yang turut melandasi atau membentuk pandangan dunia keilmuan.
Dengan demikian setelah para pemikir muslim di atas bergumul dan bersentuhan dengan wacana filsafat keilmuan, maka wajar jika isu-isu epistemologis telah melatarbelakangi, melahirkan, ide-ide radikal dan sikap kritis dari mereka yang membawa pada kesadaran bahwa khazanah keilmuan klasik sudah tidak begitu relevan lagi dengan kondisi mutakhir.
Pernahkan mampir di benak kita, bagaimana mereka para pemikir muslim mampu melahirkan temuan-temuan yang sangat berharga? Hal ini merupakan problem epistemologis tersendiri yang layak untuk di telaah ulang. Sebuah problem yang mengarah kepada pertanyaan lebih lanjut, yakni bagaimana epistemologi yang berkembang di dunia Barat dan dunia Islam saat ini? Serta apa signifikansinya terhadap studi ke-Islaman? Paper (مُسْتَنَد) ini mencoba mencari tahu jawabannya, semoga bermanfaat.

B. Pengetahuan Ilmu dan Filsafat Ilmu.
1. Pengertian Filsafat Ilmu.
Filsafat ilmu terdiri dari kata filsaat dan ilmu. Istilah filsafat berasal dari bahasa Arab falsafah. Dalam bahasa Yunani kata philosophia merupakan kata majmuk terdiri dari “filo” dan “sopia”. Menurut Pujawiyatna “filo” berarti cinta (loving) dalam pengertian yang seluas-luasnya, sedangkan “sopia” memiliki makna kebijaksanaan (wisdom, حِكْمَة). Dengan demikian, philosophia memiliki arti orang yang cinta kebijaksanaan. Orang yang cinta kebijaksanaan atau pengetahuan disebut dengan philosophos (فيلسوف).
Menurut pengertiannya semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun cakupan pengertian Sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu Sophia tidak hanya berarti kearifan saja melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis.
Menurut sejarah kelahirannya, istilah filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates, yaitu sikap seorang cinta kebijaksanaan yang mendorong piker seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran.
Istilah filsafat sendiri memiliki beragam makna, yakni pengetahuan tentang hikmah, pengetahuan tentang prinsip-prinsip, mencarikebenaran, membahas dasar-dasar dari apa yang dibahas, dan lain-lain. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa filsafat sebagai suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya, dari eksistensi manusia, sehingga sampai pada ke dasar suatu persoalan, yakni berpikir yang memiliki ciri-ciri khusus seperti: analitis, pemahaman, deskriptif, evaluatif, interpretatif dan spekulatif.
Menurut M. Amin Abdullah filsafat dapat diartikan dengan: pertama, sebagai aliran atau hasil pemikiran, yakni berupa sistem pemikiran yang konsisten dan dalam taraf tertentu sebagai sistem tertutup (closed system). Kedua, sebagai metode berpikir, yang dapat dicirikan mencari ide dasar yang bersifat fundamental (fundamental ideas), membentuk cara berpikir kritis (critical thought), dan menjunjung tinggi kebebasan serta keterbukaan intelektual (intelectual freedom). Jadi, dapat dikatakan bahwa Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (pikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (kebenaran) dan memperoleh hikmat (kebijaksanaan).
Secara umum, filsafat dapat dirumuskan sebagai upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat secara mendasar. Rumusan pokok bahsaan ini kemudian disederhanakan kembali ke dalam tiga bidang material, yakni manusia, dunia, dan akhirat.
Sementara itu, para ahli membedakan kata “ilmu” (science) dari kata “pengetahuan” (knowledge). Karena ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode. Dengan demikian, ilmu adalah pengetahuan (knowledge, al-ma’rifah) yang diperoleh melalui metode pengamatan (observation), percobaan (experiment), dan penarikan kesimpulan dari fakta empiris (inference).
Sampai di sini, para tokoh memberikan definisi yang beragam tentang filsafat ilmu, menurut The Lieng Gie, filsafat ilmu adalah pemiiran reflektif mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Dengan kata lain, filsafat ilmu adalah pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu. Menurut Van Peursen filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya.
Conny R. Semiawan mencoba memahami filsafat ilmu dengan merumuskan titik-pandang berbagai pendapat secara garis besar. Menurutnya, terdapat empat titik pandang dalam filsafat ilmu. Pertama, filsafat ilmu adalah perumusan word views yang ittisaq (konsisten) dengan didasarkan atas teori-teori ilmiah, sementara tugas seorang filsuf ilmu adalah mengelaborasi implikasi yang lebih luas dari ilmu. Kedua, filsafat ilmu adalah suatu eksposisi dari presuppositions dan predispositions para ilmuwan. Ketiga, filsafat ilmu adalah disiplin yang menganalisis dan mengklasifikasikan konsep-konsep dan teori-teori tentang ilmu. Keempat, filsafat ilmu merupakan suatu patokan kedua (second order criteriology) yang menuntut jawaban terhadap beberapa pertanyaan, yakni karakteristik apa yang membedakan penyelidikan ilmiah dari tipe penyelidikan lainnya? Prosedur yang bagaimana yang patut dituruti oleh para ilmuawan dalam menyelidiki alam? Kondisi yang bagaimana yang harus dicapai bagi suatu penjelasan ilmiah agar menjadi benar? Status kognitif yang bagaimana dari prinsip-prinsip dan hukum-hukum ilmiah. Jawaban yang diberikan terhadap empat pertanyaan inilah yang membedakan antara “doing science”dan “thinking”, yakni tentang bagaimana ilmu harus dilakukan.
Dari pemaparan tentang pengertian filsafat ilmu di atas dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu sesungguhnya bentuk berpikir di luar pagar struktur ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, ia merupakan pengetahuan yang merefleksikan keterkaitan dan hubungan timbal-balik serta saling pengaruh antara filsafat dan ilmu. Ia merupakan bentuk pemikiran mendalam yang bersifat lanjutan (secondary reflexion) yang banyak memberi sumbangan dalam usaha memperoleh pemahaman mengenai asas-asas, latar belakang, serta hubungan yang dalam setiap kegiatan ilmiah.
2. Epistemologi dan Filsafat Ilmu.
Beberapa ahli filsafat membedakan antara filsafat ilmu dan filsafat pengetahuan (epistemology, نظرية المعرفة). Meskipun demikian, baik epistemologi maupun filsafat ilmu sama-sama merupakan cabang dari filsafat yang secara khusus mengkaji proses keilmuan manusia. Keduanya lebih banyak memiliki kesamaan dari pada perbedaan. Perbedaan hanya terletak pada objek material (atau objek kajiannya), epistemologi menjadikan pengetahuan sebagai objek kajian (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma’rifah), sedangkan objek kajian filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Dalam perkembangannya, keduanya merupakan pembahasan yang –bisa dikatakan –beda tipis (untuk tidak mengatakan sama).
Di lihat dari sejarahnya, kedua istilah tersebut memiliki sejarahnya sendiri-sendiri. Meskipun demikian, kedua disiplin ilmu tersebut tampak identik. Sebab, keduanya memiliki persamaan perspektif dlmmelihat objek kajian. Bahkan di antara aliran filsafat seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, intuisionisme, yang memang merupakan pembahasan sentral dalam epistemologi, tampak mendapatkan porsi yang cukup dalam filsafat ilmu. Aliranaliran tersebut dalam filsafat ilmu kemudian dikenal dengan “asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia”.
Dengan demikian, tidak aneh jika Koento Wibisono menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan perkembangan lebih jauh dari epistemologi, atau dengan kata lain epistemologi sebenarnya telah memperoleh maknanya yang baru, sekaligus memiliki maknanya yang luas sampai pada “garapan” filsafat ilmu.

C. Diskursus Epistemologi Barat dan Islam; Signifikansinya terhadap Studi ke-Islaman.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda, bukan saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya.
P. Hardono Hadi menyatakan bahwa epistemologi adalah cabang filafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Sementara itu dalam Dictionary of Philoshopy (ed.) Dogobert D. Runes disebutkan bahwa asal kata epistemologi adalah episteme ditambah logos, teori. Dari kata ini ditarik sebuah kesimpulan bahwa epistemologi merupakan cabang dari filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan. Rumusan lain disampaikan oleh Anton Suhono yang menyatakan bahwa epistemologi adalah teori mengenai hakikat pengetahuan ialah bagian dari filsafat mengenai refleksi manusia atas kenyataan.
Dari pengertian epistemologi di atas, paling tidak telah menyajikan pemaparan yang relatif lebih mudah untuk dipahami. Untuk lebih jelasnya, maka diperlukan penjelasan mengenai ruang lingkup epistemologi itu sendiri. M. Arifin menjelaskan bahwa ruang lingkup epistemologi meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan. Muhdlor Ahmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakekat, unsur, macam, tumpuan, batas dan sasaran pengetahuan.
Adapun menurut A,M, Saefuddin menyatakan bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab; apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakekatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah seseorang dapat mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat diketahui dan sampai manakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu. Singkatnya, epistemologi adalah ilmu tentang dasar-dasar pengetahuan.
Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya “Syinakht”, Muhammad Baqir Shadr dengan “Falsafatuna”-nya, Jawad Amuli dengan “Nadzariyyah al Ma’rifah”-nya dan Ja’far Subhani dengan “Nadzariyyah al Ma’rifah”-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi.
Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Sementara itu, dalam konteks keilmuan Islam, kerangka epistemologi Islam perlu dijadikan sebagai alternatif terutama bagi filsafat, pemikiran dan ilmuwan muslim untuk menyelamatkan mereka dari keterjebakan ke dalam arus besar di bawah kendali epistemologi Barat. Amrullah Achmad menyatakan bahwa tugas cendekiawan muslim yang mendesak dan dan harus segera dipenuhi adalah mengembangkan epistemologi Islam. Epistemologi ini merupakan inti setiap pandangan dunia mana pun juga, yang terbukti mampu mengantarkan zaman klasik Islam menuju kepada kemampuan membangun ilmu dan kebudayaan yang tidak dikotomik. Misalnya al-Ghazali yang telah memberikan fondasi yang kuat bagi tegaknya epistemologi Islam pada zamannya dan bersifat sangat aplikatif, selain al-Ghazali adalah al-Biruni, al-Khawarizmi dan lain-lain.
Menengok kejayaan Islam masa lalu tersebut, maka perlu diketengahkan kembali perkembangan epistemologi zaman kalsik Islam yang tidak dikotomik. Namun satu hal yang perlu dibenahi bahwa tradisi pemikiran klasik Islam-ortodok tidak mengenal tradisi kritik epistemologis dalam artian yang sesungguhnya. Tradisi kritik ini penting, sebab pada dasarnya epistemologi adalah cara untuk mendapatkan yang benar, nilai kebenaran akan lebih baik dan lebih tepat jika dilandasi dengan upaya pemahaman kritis.
Terlepas dari kelemahan tradisi pemikiran Islam klasik ortodok tersebut, yang jelas epistemologi Islam telah menawarkan sesuatu yang berbeda yang tidak di miliki oleh epistemologi Barat. Dalam penerapannya epistemologi Islam memiliki dua jalur yang menghubungkan dengan pengetahuan, yakni pertama, jalur luar (lahiriyyah) dengan tetap memanfaatkan realitas atau data-data empirik sebagai pijakan dalam menarik kesimpulan mengenai suatu pengetahuan. Jalur kedua, jalur ke dalam (batiniyyah) yakni mencoba “menterjemahkan” realitas atau data-data non empirik untuk memperkaya dan melengkapi capaian ilmu pengetahuan.
Menurut S. I. Poeradisastra, sebagaimana dikutip oleh Miska M. Amin menyatakan bahwa epistemologi dalam Islam berjalan dari tingkat ke tingkat, pertama, perenungan (contemplation). Kedua, penginderaan (sensation). Ketiga, pencerapan (perception). Keempat, penyajian (representation). Kelima, konsep (concept). Keenam, pertimbangan (judgment). Ketujuh, penalaran (reasoning). Epistemologi tersebut tidak berpusat pada manusia (anthropocentris) yang menganggap manusia sendiri sebagai makhluk mandiri (antonomous) dan menentukan segala-galanya, melainkan berpusat kepada Allah (theocentric), sehingga berhasil atau tidaknya tergantung terhadap usaha manusia kepada kehendak Allah.
Sementara itu, menurut Ziauddin Sardar menyebutkan ada sembilan ciri dasar epistemologi Islam yang tidak dimiliki Barat, yaitu: pertama, yang didasarkan atas sesuatu kerangka pedoman mutlak. Kedua, dalam kerangka pedoman ini, epistemologi Islam bersifat aktif dan bukan pasif. Ketiga, dia memandang objektivitas sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi. Keempat, sebagai besar bersifat deduktif. Kelima, dia memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam. Keenam, dia memandang pengetahuan sebagai yang bersifat inklusif dan bukan eksklusif, yaitu menganggap pengalaman manusia yang subjektif sama sahnya dengan evaluasi yang objektif. Ketujuh, dia berusaha menyusun pengalaman subjektif dan mendorong pencarian akan pengalaman-pengalaman ini, yang dari sini umat muslim memperoleh komitmen-komtmen nilai dasar mereka. Kedelapan, dia memadukan konsep-konsep dari tingkat kesadraan, atau tingkat pengalaman subjektif, sedemikian rupa sehingga konsep-konsep dan kiasan-kiasan yang sesuai dengan satu tingkat tidak harus sesuai dengan tingkat lainnya. (ini sama dengan perluasan dari jangkauan proses “kesadraan” yang dikenal dan termasuk dalam bidang imajinasi kreatif dan pengalaman mistis serta spiritual). Kesembilan, dia tidak bertentangan dengan pandangan holistik, menyatu dan manusiawi dari pemahaman dan pengalmaan manusia. Dengan begitu ia sesuai dengan pandangan yang lebih menyatu dari perkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual.
Dari ciri-ciri tersebut dapat dijelaskan bahwa perbedaan yang mencolok antara epistemologi Barat dengan epistemologi Islam adalah bahwa epistemologi Islam memiliki sandaran teologis berupa kerangka pedoman mutlak. Dengan demikian epistemologi Islam sebenarnya telah menekankan totalitas pengalamaan dan kenyataan serta menganjurkan banyak cara untuk mempelajari alam, sehingga ilmu bisa diperoleh dari wahyu maupun akal, dari observasi maupun intuisi, dari tradisi maupun spekulasi teoritis. Maka epistemologi Islam menekankan pencarian semua bentuk ilmu pengetahuan dalam kerangka nilai-nilai abadi yang merupakan landasan utama peradaban muslim. Dengan pengertian lain, epistemologi Islam merupakan alat yang fleksibel dalam memperoleh banyak pengetahuan, baik pengetahuan yang berdasarkan data-data empirik, pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan spekulatif terhadap persoalan-persoalan metafisika, pengetahuan melalui intuisi, maupun pengetahuan yang diperoleh dari informasi wahyu (al-Qur’an dan hadis). Keluwesan epistemologi Islam ini karena Islam mengakui banyak dimensi yang turut mempengaruhi pengetahuan.
Islam pada dasarnya tidak pernah mempertentangkan antara satu macam pengetahuan dengan pengetahuan lainnya. Begitu juga Islam tidak memperhadapkan satu macam pendekatan keilmuan berikut aneka ragam pengetahuan yang dihasilkannya. Penerimaan Islam terhadap berbagai macam pendekatan keilmuan dan hasil-hasilnya sekaligus, karena Islam memandang, bahwa semua pengetahuan berasal dari Allah.
Berkaitan dengan masalah epistemologi Islam, Syahrur berpendapat bahwa sampai saat ini belum ada satu pun formulasi epistemologi Islam yang dapat dikatakan valid, dengan kata lain literatur Islam yang membahas tentang epistemologi Islam masih sangat langka. Meskipun demikian, epistemologi Islam sudah dikenal dan dipraktekkan umat Islam sejak lama terutama oleh para ulama, terutama ulama fiqh (fuqaha). Dalam hal ini yang telah di praktekkan oleh Imam al-Syafi’i (w.204/820) dalam karyanya al-Risalah. Walaupun permasalahan epistemologis Islam belum dikaji secara eksplisit, namun dalam karya Syafi’i tersebut telah disinggung mengenai apa yang membentuk dan membatasi pengetahuan hukum, disamping juga mengenai masalah bagaimana pengetahuan hukum itu dapat diperoleh dan dijustifikasi serta kriteria-kriteria kesalehannya.
Menanggapi kelangkaan referensi fondasi epistemologi ini, al-Jabiri memberikan sebuah solusi melalui formulasi Naqd al-Aql al-Arabiy (kritik nalar Arab). Ada kesan bahwa ia mencoba untuk menghidupkan kembali semangat berfikir ala Ibn Rusyd (ruh rusydiyyah) yang murni paripatetik itu.
Menurut pemikir Islam asal Maroko ini, epistemologi Islam memiliki tiga kecenderungan, yaitu bayāni, irfāni, dan burhāni. Epistemologi bayāni adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu adalah teks (nash) atau penalaran dari teks. Epistemologi irfāni adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah ilham. Epistemologi ini memiliki mertode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yakni metode kasyf. Metode ini sangat unik karena tidak dapat dirasionalkan selamanya, diverifikasi atau diperdebatkan. Epistemologi ini sangat sulit dijelaskan, karena seseorang harus mengalami sendiri kalau ingin mengetahui. Epistemologi ini dianut oleh para sufi. Epistemologi burhāni adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Ibn Khaldun menyebut epistemologi ini dengan knowledge by intellect (al ulum al aqliyyah). Epistemologi ini disebut juga epistemologi falsafah, karena merujuk pada tradisi intelektual Yunani. Tokoh pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles.
• Sumber Epsitemologi Islam.
Sementara itu, terkait dengan masalah sumber pengetahuan, Islam memandang bahwa sumber (al-maşādir, al-‘adalah) utama ilmu pengetahuan adalah Allah. Selanjutnya Allah memberikan kekuatan-kekuatan kepada manusia.
Secara terinci Islam mengakui, bahwa sumber atau saluran ilmu lebih banyak dari yang diakui oleh ilmuan Barat. Al-Syaibani mengatakan, bahwa pengalaman langsung, pemerhatian dan pengamatan indera hanya sebagian dari sumber-sumber tersebut, banyak lagi sumber lain dan barangkali yang paling penting dan paling menonjol adalah percobaan-percobaan ilmiah yang halus dan teratur, renungan pikiran dan pemikiran akal, bacaan dan telaah terhadap pengalaman. Pengalaman orang-orang terdahulu, perasaan, rasa hati, limpahan dan celik akal serta bimbingan Illahi. Namun sumber-sumber tersebut meskipun beragam bentuk jenisnya dapat dikembalikan kepada lima sumber utama yakni indera, akal, intuisi, ilham dan wahyu Illahi.
Naquib menyatakan bahwa sumber ilmu adalah datangnya dari Allah sebagai karunia-Nya yang diberikan kepada manusia. Ilmu tersebut, hanya dapat diterima oleh insan dengan daya usaha kerja amal ibadah serta kesucian hidupnya. Yakni dengan keihsananya dan hikmah sejati ibadah kepada tuhannya yang hak itu dengan ridhanya dan yang mungkin dapat menerimanya tergantung kepada kehendak dan karunia Allah juga.
Apa yang dikemukakan oleh Naquib sesuai dengan kesepakatan dikalangan muslim yang telah memiliki landasan teologis, bahwa surah al-‘alaq ayat 1-5, diterima sebagai informasi bahwa Allah itulah sumber segala ilmu yang kemudian diajarkan kepada manusia. Mereka meyakini asal (origin) ilmu itu adalah Allah sendiri, pencipta alam semesta yang diperuntukkan bagi hamba-Nya. Sedangkan ilmuan adalah peramu butiran-butiran ilmu dalam tataran sistemik yang disebut manusia dalam nama-nama yang disepakati bersama demi kemudahan menggalinya.
Menurut Naquib hanya dengan hidayah (petunjuk) Allah-lah sebuah kebenaran bisa diperoleh oleh manusia, bukan keraguan. Pendapat Naquib ini sekaligus sebagai kritiknya terhadap epistemologi Barat dengan ciri skeptis atau keragu-raguan (kesangsian). Aliran skeptisisme (irtiyabiyah) ini untuk pertama kalinya di dunia Barat diperkenalkan oleh Rene Descartes (1456-1658), dia mendapat gelar “bapak filsafat modern”. Bagi Descartes, filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui melalui metode dengan menyangsikan segala-galanya. Dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu pun yang dianggap pasti, semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan juga, kecuali ilmu pasti.
Pengetahuan Barat menurut Naquib seolah-olah benar, namun pada dasarnya hanya menghasilkan kebingungan dan skeptisisme (إرتيابيه). Mengangkat keragu-raguan dan meraba-raba ke derajat ilmiah dalam hal metodologi (methodology, مناهج البحث) dan memandang keraguan sebagai suatu unsur epistemologis yang istimewa dalam mengejar kebenaran. Keraguan ditinggikan posisinya menjadi metode epistemologis. Melalui metode inilah kaum rasionalis dan sekularis percaya bahwa mereka akan mencapai kebenaran. Tidak ada bukti, bahwa keraguan, dan bahkan sesuatu lainnya yang mengantarkan mereka berada pada kebenaran. Sesungguhnya, tambah Naquib, yang mengantarkan kepada kebenaran adalah hidayah (petunjuk) Allah bukan keraguan.
Sumber epistemologi Islam kedua adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam, yang disamping berfungsi sebagai hudan (petunjuk) juga sebagai furqan (pembeda). Sehingga ia menjadi tolak ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Termasuk dalam penerimaan dan penolakan apa yang dinisbahkan kepada nabi Muhammad saw.
Menurut Ahmed—dengan mengutip al-Qur’an surah al-‘Alaq ayat 1-5—mengatakan bahwa al-Qur’an menetapkan nilai yang sangat tinggi bagi pencarian hikmah dan ilmu pengetahuan. Nabi, baginya adalah illitera, sangat mencintai ilmu dan mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya sampai ke negeri Cina. Kata iqra’ dalam surah tersebut (Q.S: al ‘Alaq), merupakan kata kunci yang digunakan al-Qur’an dalam usaha penguasaan ilmu pengetahuan. Kata ini berasal dari kata qaraa dan terulang tiga kali dalam al-Qur’an (Q.S: 17:14; 96:1,3), sedangkan kata jadinya dalam bernagai bentuk terulang sebanyak tujuh belas kali, selain kata al-Qur’an yang terulang sebanyak tujuh puluh kali. Iqra’ (qaraa) berarti menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya, yang semuanya dapat dikembalikan pada arti pokok kata-kata tersebut yakni menghimpun.
Berangkat dari pemahaman tersebut, maka para cendekia muslim berpendapat, bahwa al-Qur’an dan sunah adalah sumber fundamental metodologi Islam. Pengetahuan al-Qur’an dan hadis adalah pangkal (inti, dasar, permulaan) metodologi Islam. Pangkal itu merupakan pusat pertumbuhan pengetahuan. Pangkal itu juga memuat beberapa pengetahuan yang relevan dengan setiap disiplin ilmu pengetahuan.
Wahyu (al-Qur’an), dengan demikian memiliki kedudukan yang paling tinggi. Hal ini karena dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan Islam yang akan dilakukan adalah menjadikan wahyu Illahi sebagai sumber kebenaran mutlak. Wahyu mencakup pemberitaan yang tidak terjangkau oleh akal dan indera, sedangkan indera beraktifitas sebatas yang dapat di lihat, diraba, dicium dan dirasa, dan akal hanya bekerja pada sesuatu yang dapat dinalar dan dipikirkan. Diluar itu, akal tidak mampu menjangkaunya. Posisi yang demikian, membawa konsekuensi bahwa dalam pandangan Islam sumber pengetahuan seperti iondera dan akal harus tunduk pada wahyu. Cara untuk mengenal alam jagat yang menjadi tumpuan perhatian pengetahuan yang dikenal dengan sains, adalah melalui aktualisasi semua kemungkinan dalam akal itu. Namun aktualisasi itu hanya mungkin jika akal tunduk pada kitab suci. Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa ulama-ulama Islam dahulu memandang pembersihan jiwa (tazkiyah al-nafs) merupakan satu bagian integral dari metodologi ilmu. Mereka meyakini bahwa ajaran-ajaran al-Qur’an seperti tazkiyah al-nafs dapat menghasilkan kebenaran yang lebih berkualitas ketimbang kebenaran yang dicapai melalui akal, karena merupakan petunjuk Allah.
Ringkasnya, al-Qur’an menjadi petunjuk dan konsultasi bagi ilmu pengetahuan Islam yang memiliki kedudukan tinggi sebagai sumber pengetahuan dibanding sumber-sumber pengetahuan yang lain.
Sumber epistemologi Islam ketiga adalah sunah. Dalam mengomentari sunah ini Fazlur Rahman mengatakan:
“The second definitive source of Islam, afteer the Qur’an, is the sunna of the prophet. The term sunna means the example or model for others to follow. The sunna, therefore, purportdly gives is the precepts and actions of the prophet Muhmmad outside the Qur’an”.

Sunah menurut para ulama dipandang dari segi keberadaannya wajib diamalkan dari sumbernya, dari wahyu sederajat dengan al-Qur’an. Ia berada pada posisi setelah al-Qur’an dilihat dari kekuatannya, karena al-Qur’an berkualitas qhat’iy baik secara global maupun rinci. Sedangkan sunah berkualitas qhat’iy secara global saja tidak secara rinci. Di samping itu, al-Qur’an merupakan pokok, sedangkan sunah merupakan cabang, karena posisinya menjelaskan dan menguraikan. Dari kenyataan ini, maka jumhur ulama menyatakan bahwa sunah menempati urutan kedua setelah al-Qur’an.
• Sumber Epsitemologi Islam yang Lain.
Selain ketiga sumber di atas, Islam juga mengakui beberapa sumber ilmu pengetahuan yang lain, di antaranya adalah: pertama, indera. Indera memang bisa diakui sebagai sumber ilmu pengetahuan yang amat penting, walaupun hasilnya paling rendah kualitasnya. Begitu pentingnya, sehingga oleh aliran filsafat tertentu, seperti empirisme (tajribiyyah) yang memandangnya sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Sedangkan unsur-unsur indera yang mendapat perhatian al-Qur’an sehubungan dengan kapasitasnya sebagai sumber ilmu pengetahuan adalah pendengaran dan penglihatan. Irfan Ahmad Khan mengatakan bahwa menurut anjuran al-Qur’an sumber-sumber pengetahuan dapat ditemukan melalui tiga jalan yakni al-sama’ (pendengaran), al-bashar (penglihatan) dan al-fu’ad (hati).
Pendengaran dan penglihatan mendapatkan perhatian sebagai sumber pengetahuan dari unsur indera barangkali karena kedua kemampuan itulah yang paling cepat menangkap fakta-fakta dibanding unsur lainnya. Apa yang di dengar manusia, jika ia sebagai informasi baru, maka merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi kepentingan ilmu pengetahuan. Hasil pendengaran ini jika memungkinkan akan ditindak lanjut melalui kemampuan penglihatan. Di samping itu, penglihatan juga bisa menangkap fakta-fakta secara mandiri, terlepas dari hasil pendengaran, ketika penglihatan langsung berhubungan dengan fakta-fakta pengetahuan. Pengetahuan yang dihasilkan melalui indera tersebut biasa disebut dengan pengetahuan empirik.
Keberadaan sumber pengetahuan empirik ini diakui oleh Ibn Taimiyyah yang membagi ilmu pengetahuan kepada dua bagian, yakni pengetahuan tentang segala yang ada (al-ilmu bi al-ka’inat) dan pengetahuan tentang agama (al-ilmu bi al-din). Ia mengatakan bahwa dengan menggunakan metode tajribiyyah (empirisme) pengetahuan tentang al-ilmu bi al-ka’inat dapat diperoleh. Menurutnya, tidak ada jalan untuk mengetahui kebenaran, kecuali dengan metode ini. Selanjutnya ia mengatakan jika silogisme dipisahkan dengan tajribiyyah maka tidak akan membawa kepada kesimpulan atau atau pengetahuan yang benar. Dengan tajribiyyah ini lah sebuah kebenaran paertikular dapat diketahui.
Kedua, akal yang sehat. Umat Islam dengan petunjuk al-Qur’an dan sunah seharusnya dapat melakukan pencerahan terhadap kehidupan umat Islam, juga dapat membangkitkan dan memancarkan ilmu pengetahuan guna tercapainya sebuah kesempurnaan ajaran Islam, termasuk bidang hukumnya yang mengatur semua sisi kehidupan umatnya. Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang merangsang gairah akal untuk berfikir, merenung, mengamati, meneliti, memahami dan mengerti tentang alam semesta dengan berbagai fenomenanya. Sehingga bagi orang yang menekuni dapat menghasilkan karya cipta dan karsa yang memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia. Dalam Islam sendiri ada dua jalan untuk memperoleh ilmu pengetahuan yakni dengan jalan wahyu dan akal.
Akal adalah daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia yang dengannya segala sesuatu dapat diserap. Ia merupakan anugerah Allah yang tidak dimiliki oleh makhluk lain di luar manusia. Di bawah pancarannya manusia dapat membedakan yang benar dan yang batil, bersih dan kotor, bermanfaat dan madharat, serta baik dan buruk.
Secara etimologis akal berarti al-hijr yang berarti menahan, al-‘āqil berarti orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Al-‘aql juga berarti kebijaksanaan (al-nuha) lawan dari lemah pikiran (al-humq). Al-‘aql juga berarti al-qalb dan ‘aqala mengandung arti memahami. Sementara itu akal menurut Abbas Mahmud al-‘Aqqad adalah penahan hawana nafsu untuk mengetahui amanat dan beban kewajibannya, ia adalah pemahaman dan pemikiran yang selalu berubah sesuai dengan masalah yang dihadapi, ia merupakan petunjuk yang membedakan hidayah dan kesesatan, ia adalah kesadaran batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata.
Dari berbagai teori mengenai akal tersebut, dapat ditarik benang merah yang saling berhubungan. Akal berarti mengikat dan menahan orang yang menggunakan akalnya pada dasarnya adalah orang yang mampu mengikat hawa nafsunya sehingga tidak menguasai dirinya. Ia mampu mengendalikan diri dan dapat memahami kebenaran, sebab jika seseorang telah dikuasai hawa nafsu maka ia akan terhalang untuk memahami kebenaran. Akal dalam pandangan al-Qur’an bukanlah otak, melainkan suatu daya berfikir dan memahami yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang digambarkan al-Qur’an memperoleh pengetahuan dan memperhatikan alam sekitarnya.
Dengan demikian al-Qur’an perlu dijadikan sebagai paradigma, yaitu suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan seseorang memahami realitas sebagaimana al-Qur’an memahaminya. Seperti Thomas Kuhn yang memahami bahwa realitas dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiriy tertentu yang kemudian akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula. Juga Immanuel Kant, misalnya, menganggap “cara mengetahui” itu sebagai apa yang disebut sekema konseptual, Marx menamakannya sebagai ideologi. Dan Wittgenstein melihatnya sebagai cagar bahasa, sehingga al-Qur’an selain memberikan gambaran secara aksiologis juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.
Akal dalam pandangan Naquib adalah bukan hanya rasio, ia adalah fakultas mental yang mensistematisasikan dan menafsirkan kata-kata empiris menurut kerangka logika, yang memungkinkan pengalaman menjadi sesuatu yang bisa dipahami. Lebih dari itu, akal adalah salah satu aspek dari intelek dan bekerjasama dengan intelek. Intelek adalah entitas yang inhern dalam hati (al-qalb) yakni menjadi tempat intuisi. Naquib menambahkan kata sifat “sehat” setelah perkata akal (sound reason) bukan saja karena pikiran manusia sering tidak benar, berangkat dari premis yang salah atau dari kesimpulan yang salah meskipun berdasarkan yang benar, melainkan juga karena pikiran manusia kerap dipengaruhi oleh estimasi dan imajinasi, yang bisa salah ketika akal menegasikan kemampuannya untuk memahami realitas spritual melalui intuisi, yakni daya lain dari intelek manusia.
Ketiga, Intuisi. Masalah intuisi juga memiliki kapasitas sebagai sumber ilmu pengetahuan. Secara implisit dapat diakui bahwa wahyu dan intuisi adalah sumber pengetahuan. Dengan wahyu seseorang mendapatkan pengetahuan lewat keyakinan (kepercayaan), bahwa yang diwahyukan itu adalah benar, demikian juga dengan intuisi, di mana seseorang percaya bahwa intuisi adalah sumber pengetahuan yang benar, meskipun kegiatan befikir intuitif tidak memiliki logika atau pola berfikir tertentu.
Pemanfaatan intuisi sebagai sumber penemuan bagi pengetahuan telah biasa dilakukan oleh para pemikir Islam dalam merumuskan ilmu pengetahuan mereka. Menurut Naquib khazanah intelektual Islam tidak perlu direkonstruksi. Cukup dinyatakan kembali, sebab khazanah tersebut sudah begitu kaya dengan pemikiran-pemikiran filosofis yang bersumber pada pengetahuan yang betul yaitu intuisi yang dibutuhkan bagi suatu “filsafat ilmu Islam”. Intuisi yang oleh Kartanegara disebut dengan al-qalbu (hati), dapat menjadi pelengkap bagi manusia ketika akal tidak lagi mampu memahami “wilayah kehidupan emosional manusia”, hati kemudian dapat memahaminya. Hati (intuisi) yang terlatih akan dapat memahami perasaan seseorang hanya, misalnya, dengan mendengar suara atau memandang matanya. Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati dapat menerobos ke alam ketidaksadaran (atau alam ghoib dalam bahasa religius) sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman non-inderawi atau yang sering disebut dengan ESP (extra-sensory perception), termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau religius.

D. Kesimpulan.
Memperhatikan permasalahan epistemologi dalam pemikiran Barat dan Islam, dapat diringkas menjadi tiga teori kebenaran, yakni rasional, inderawi, dan ilham. Sesuai perkembangan ilmu pengetahuan yang terus berkembang, terutama dalam teknologi, maka tidak cukup hanya mengandalkan satu epistemologi saja. Oleh karena itu, diperlukan kajian yang holistik-integralistik dengan mengetengahkan teori-teori epistemologi lain seperti empiris atau yang lainnya. Salah satu contoh, selama teologi masih terkungkung dalam epistemologi yang rasional idealistis yang antara lain melahirkan tasawuf, akan sulit menjelaskan ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an. Jadi, dengan studi yang bersifat empiris-interdisiplinlah yang dapat memahami ayat tersebut. Sebaliknya, ayat-ayat kauniyyah yang terpecah-pecah dalam beragam bidang studi tidak dapat berdiri sendiri yang mesti terikat dengan spiritualitas dan moralitas agama. Hal ini lah yang menjadikan Amin Abdullah menggagas “jaring laba-laba” studi ke-Islaman yang luas dan bercorak teoantroposentris-integralistik.
Akhirnya, ada baiknya merenungkan pendapat Frank Whaling sebagai penutup terhadap kajian ini “bahwa filsafat ilmu (epistemologi) akan bermanfaat dalam rangka memahami beragam metode yang digunakan dalam studi agama. Dengan pendekatan holistik-integralistik diharapkan pemikiran Islam dapat berkembang dalam bentuk yang lebih sintesis-antisipatif-transformatif. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

‘Aqqad. Abbas Mahmud al-, Al Insān fi Al-Qur’an al Karim, Kairo: Dār al-Islam, 1973.

Abdullah. M, Amin, “Pengembangan Kajian ke-Islaman, Metode dan Pendekatannya pada Program Pascasarjana UIN/IAIN/STAIN”, dalam Amir Mahmud (ed.), Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia, Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005.

___________, “Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multirelijius”, Pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat IAIN SunanKalijaga Yogyakarta, 13 Mei 2000.

___________, Epistemologi Ilmu Agama Islam Dalam Khasanah Perkembangan Epistemologi Ilmu Pengetahuan Modern, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 2002.

Aceh. Abu Bakar, Sejarah Filsafat Islam, Solo: Ramadhani, 1982.

Achmad. Amrullah, “ Kerangka Masalah Perguruan Tinggi Islam Sebuah Ihtiar Mencari Pola Alternatif Telaah Kasus IAIN”, dalam Muslih Usa (ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Yogykarta: Tiara Wacana, 1991.

Ahmad. Muhdlor, Ilmu dan Keinginan Tahu, Epistemologi dalam Filsafat, Bandung: Trigenda Karya, 1994.

Alston. William P., “Empricism” dalam Edward Craig (ed.), Routledge Encyclopaedia of Philosophy, New York & London: Routledge, 1998.

Amin. Miska M., Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta: UI Press, 1983.

Anshari. Endang Saifuddin, wawasan Islam Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan Ummatnya, Jakarta: 1993.

Anwar. M. Syafi’i, “ ISTAC Rumah Ilmu untuk Masa Depan Islam” dalam JurnalUlumul Qur’an: Journal Ilmu dan Kebudayaan, vol III, No. I, Jakarta: LASF, 1992.

Anwar. M., “Islamic Economic Methodology”, dalam M. Muqim (ed.), Research Methodology in Islamic Perpektif, New Delhi: Institute of Objective Study, 1994.
Anwar. Syamsul, “Epistemologi Hukum Islam, Probabilitas dan Kepastian” dalam ke Arah Fiqih Indonesia, (ed.)Yudian W.Asmin, Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam. Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1994.

Arifin. M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.

Arkaoun. M., Al-Islam: Al-Akhlak wa As-Syasiyah, Terj. Hasyim Salih, Beirut: Markaz al-Inma’ Al-Qalumi, 1990.

___________, Tarikhiyyah al-Fikr al-Arabiy al-Islami. Terj. Hasyim Salih (Beirut: Markaz al-Inma’ Al-Qalumi, 1986.

Attas. Syed Muhammad Naquib al-, Dilema Kaum Muslim, terj. Anwar Wahdi hasi dkk., Surabaya: Bina Ilmu, 1986.

___________, Islam dan Filsafat Sains, terj. Syaiful Muzani, Bandung: Mizan, 1995.

___________, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1996.

Beerling, ,dkk., Pengantar Filsafat Ilmu, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara wacana, 1990.

___________, Susunan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia, 1985.

Bertens. K., Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Clark. Peter, “The Shahrur Phenomenon, A Liberal Islamic Voice from Syria”, dalam Islam and Christian Muslim Relation, Vol. VII. No. 3.

Fatimah. Feti dalam makalah “Pengantar Falsafah Sains”, dengan judul, Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Alam, Program Pasca Sarjana/S3, Institut Pertanian Bogor, Juni 2002.

Gie. The Lieng, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1991.

Hadi. P. Hardono, “Pengantar”, dalam Knneth T. Gallagher, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, di sadur oleh P. Hardono Hadi, Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Hamlyn. D.W., “Epistemology of History” dalam Ensyclopedia of Philosophy, ed. Paul Edwards, New York: Maemillan Publishing co. inc & Free Press, 1972.

Hasan. M. Ali, Pebandingan Mazhab, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Imam. C. Verhaak dan R. Haryono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Telaah atas Cara Kerja Ilmu, Jakarta: Gramedia, 1989.

Jabiri. M. Abid al-, Bunyah al-Aql al-Arabiy: Dirasah Tahliliyyah Naqddiyyah Li Nuzum al-Ma’rifah fi as-Saqafah al-Islamiyah, Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, 1993.

___________, Nahwn wa al-Turas Qiraah Mu’asirah fi Turasina al-Falsafi, Beirut: al-Markaz as-Saqafi al-Arabi, 1993.

Kartanegara. Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan, 2003.

Khatib. M. ‘Ajaj Al-, Ushulu al-Hadis, terj. M. Qodirun Noor dan Ahmad Musyafa’, Pokok-pokok Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1993.

Langgulung. Hasan, Kreatifitas dan Pendidikan Islam, Analisis Psikologi dan Falsafah, Jakarta: Pustaka al Husna, 1991.

Madjid. Nurcholis, “Pandangan Dunia al-Qur’an Ajaran tentang Harapan kepada Allah dan Seluruh ciptaan” dalam Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Sa’id Tuhu Lelet, Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas, Yogyakarta: SIPRESS, 1993.

Madzkur. Ibrahim, Al-Mu’jam al-Falsafi, Kairo: Al-Hayāt al-Ammarah li al-Syu’un al-Muthabi al-Amiriyah, 1979.

Manzur. Ibn, Lisan al-Arab, Mesir: Dār al-Mishriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1868.

Muin. Ruswan Thayib dan Dar (ed.), Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999,
Mujahidin. Majlis, Kekafiran berfikir sekte Paramadina, Debat Publik Fiqih Lintas Agama Majlis Mujahidin Versus Tim Penulis Paramadina, Yogyakarta: Wihdah Press, 2004.

Muslih. Muhammad, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2004.

Muthalib. Rif’at Fauzi Abdul, Tautsiq al Sunah fi al Qarn Tsaany, Mesir: al Khanji, t.t.

Muzani. Syaiful, “Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib al-Attas”, dalam Al-Hikmah, Vol III, 1991.

Nabhani. Taqiyuddin An-, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyyah, Beirut: Darul Ummah, 1994.

Nashari. Fu’ad, “Metode-metode Perumusan Penelitian Psikologi Islam”, dalam PSIKOLOGIKA , Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, No. 6. Vol. III, 1996.

Nasution. Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1983.

___________, Filsafat Agama, Jakarta: Bualn Bintang, 1973.

Nuseibeh. Sari, “Epistemologi”, dalam S.H. Nasr dan Oliver Leamen, History of Islamic Philosophy, London-New York: Routledge, 1996.

Peursen. Van, Susunan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia, 1985.

Qasimi. Al-, Al-Mahāsin al-Ta’wil, Al-Arabiyyah: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1957.

Rabi’. Ibrahim M. Abu, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in The Modern Arab World, New York: SUNY Press, 1996.

Rahman. Fazlur, “Devine Reveleation and the Prophet”, dalam, Taufik Adnan Amal, terj. dan ed., Metode dan Alternatif Neo-modernis Islam Fazkur Rahman, Bandung: Mizan, 1989.

___________, “Some Islamic Issues in The Ayyub Khan Era, Essay on Islamic Civilization” dalam Essay on Islamic civilization, ed. Donald P. Little. Leiden: E.J. Brill, 1976.

Romdon, “Filsafat Ilmu dan Studi Agama; Ulasan terhadap Tulisan Frank Whaling”, dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, Yogyakarta: IAIN, No. 50 tahun 1992.

Runes. Dagobret D., Dictionary of Philoshopy, ed., Totowa: News Jersey: Littlefield, Adams & Co. 1976.

Sadali. Ahmad, “Pengembangan Islam untuk Disiplin Ilmu (PUDI) Suatu Perambahan Langkah-Langkah”, dalam Amin Husni dkk., Citra Kampus Religius Urgensi Dialog Konsep Teoritik, Empirik dengan Konsep Normatif Agama, Surabaya : Bina Ilmu, 1986.

Saefuddin. A.M., “Filsafat Ilmu dan Metodologi Keilmuan”, dalam A.M. Saefuddin, dkk., Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islami, Bandung: Mizan, 1991.

Sardar. Ziauddin, Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, terj. A.E. Priyono, Surabaya: Risalah Gusti, 1998.

___________, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1993.

Semiawan. Conny R., dkk. Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Karya, 1988.

Shihab. M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.

Siswomiharjo. Koento Wibisono, “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu”, dalam Tim, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Klaten: Intan Pariwara, 1997.

Suriasumantri. Jujun S., Filsafat Islam: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990.

Suriasumantri. Jujun S., Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 1991.

Susanto. Happy, Ada Apa dengan Islamisasi Ilmu? Dalam Groups. Or.id/pendidikan Islam permail/fosi/2003-Desember/oooo11. Html.-17.yk, akses 9 April 2007.

Syafi’i. As-, lihat Al-Risalah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 1979.
Syahrur. Muhammad, Al-Kitab wa al-Qur’an: Qirāah Mu’asirah, Kairo: Sina li an-Nasyr dan Damaskus: Al-Ahāli, 1992.

Syaibani. Omar Muhammad al-Toumy al-, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Syathibi. Al-, Al-Muwāfaqāt fi Ushūl al-Ahkām, Dar al-Fikr, t.t.

Taimiyyah. Ibn, “Qaidah Syarifah fi al-Mu’jizat wa al-Karamat”, Fatawa, VIII, 336-339, Kitab al-Radd, www.IslamSpirit.com.

Taufik. H.M. “Hasan Langgulung: Pengembangan Kreativitas dalam Pendidikan Islam”, dalam A. Khudhari Sholeh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003.

Tim, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: Pt. Cipta Adi Pustaka, 1989.

Titus. Harold HLM. dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, terj. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Yanggo. Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos, 1997.

PEMIKIRAN HAMKA TENTANG POLITIK; Telaah Penafsiran Hamka dalam Tafsir Al-Azhar

PEMIKIRAN HAMKA TENTANG POLITIK
(Telaah Penafsiran Hamka dalam Tafsir Al-Azhar)
Oleh: Shohibul Adib, S.Ag. M.S.I.

A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah sumber utama dan fundamental bagi agama Islam, ia di samping berfungsi sebagai petunjuk (hudan) —antara lain dalam persoalan-persoalan akidah, Syari’ah, moral dan lain-lain —juga berfungsi sebagai pembeda (furqān). Sadar bahwa al-Qur’an menempati posisi sentral dalam studi keislaman, maka lahirlah niatan di kalangan pemikir Islam untuk mencoba memahami isi kandungan al-Qur’an yang dikenal dengan aktivitas penafsiran (al-tafsi@r).

Dalam kaitanya dengan penafsiran al-Qur’an, manusia memiliki kemampuan membuka cakrawala atau perspektif, terutama dalam memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat yang mengandung z}anni al-dila@lah (unclear ststement). Dari sini tidak dapat disangsikan terdapat penafsiran yang beragam terkait dengan masalah politik antara lain: pertama, yang menyatakan bahwa al-Qur’an memuat ayat-ayat yang menjadi landasan etik moral dalam membangun sistem sosial politik. Kedua, al-Qur’an sebagai sumber paling otoritatif bagi ajaran Islam, sepanjang terkait dengan masalah politik tidak menyediakan prinsip-prinsip yang jelas, demikian pula dengan as-sunnah. Ketiga, terdapat penafsiran yang menyatakan al-Qur’an mengandung aturan berbagai dimensi kehidupan umat manusia di dalamnya termasuk mengatur sistem pemerintahan dan pembentukan negara Islam. Salah satu dari sekian banyak penafsir yang ada adalah Hamka dengan karyanya Tafsir al-Azhar. Bagaimana epistemologi Hamka dalam usahanya menemukan, mengidentifikasi, dan menafsirkan prinsip-prinsip fundamental dari politik Islam sebagaimana yang terkandung di dalam al-Qur’an adalah pertanyaan yang akan dikaji dalam paper ini.

B. BIOGRAFI HAMKA
Nama lengkap dari Prof. Dr. H. Hamka adalah Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah bin Abdullah bin Soleh, atau yang dikenal dengan panggilan Buya Hamka. Buya Hamka dilahirkan di sebuah perkampungan yang bernama Sungai Batang dekat Danau Maninjau Sumatra Barat. Dia dilahirkan pada tanggal 17 Februari 1908 yang bertepatan dengan tanggal 14 Muharam 1326 H. Buya Hamka adalah anak seorang ulama yang terkemuka dan terkenal yaitu Dr. Haji Karim alias Haji Rosul, pembawa faham pembaharu Islam di daerah Minangkabau.
Buya Hamka adalah seorang pujangga, ulama, pengarang, dan politikus. Dia banyak mengubah syair dan sajak, menulis karya sastra, mengarang buku-buku bernafaskan keagamaan. Dia menjadi tempat bertanya dan rujukan berbagai masalah keagamaan. Ia pernah menjadi anggota Dewan Konstituante (dari partai Masyumi) setelah pemilu tahun 1955. Buya Hamka belajar didesanya selama tiga tahun, ia lalu melanjutkan pendidikannya kirakira tiga tahun pula di sekolah agama di Padang Panjang dan Parabek. Karena bakat dan otodidaknya yang kuat, ia dapat mencapai ketenaran dalam berbagaibidang. Bakatnya dalam bidang bahasa menyebabakan ia dengan cepat dapatmenguasai bahasa Arab sehingga ia mampu membaca secara luas termasuk berbagai terjemahan dari tulisa-tulisan Barat. Bakat tulis-menulis tampaknya memang telah dibawanya sejak kecil, yang diwarisinya dari ayahnya, yang selain takoh ulama juga penulis, terutama dalam majalah al-Munir.

Pada usia tujuh belas tahun, sekitar tahun 1925. Dia telah menerbitkan bukunya yang pertama Khatibul Ummah, yang berarti Khatib dan Umat. Kisah perjalanan naik haji ke tanah suci ditulisnya dalam surat kabar Pelita Andalas. Tahun 1928, ia menerbitkan majalah Kemajuan Zaman dan pada tahun 1932 ia terbitkan pula majalah al-Mahdi. Kedua majalah tersebut bercorak kesusastraan dan keagamaan. Pada tahun 1936-1943 Hamka menjadi ketua redaksi majalah Pedoman Masyarakat di Medan, sebuah majalah yang pernah mencapai oplag tertinggi sebelum perang dunia kedua. Pada tahun 1959, ia menerbitkan majalah Panji Masyarakat. Pada tahun 1960 dilarang terbit karena menentang politik Soekarno. Bahkan ia sendiri ditangkap dan semua buku-bukunya pun dilarang beredar.
Selama meringkuk dalam tahanan berbagai macam siksaan yang ditimpakan kepadanya, lebih–lebih siksaan yang bersifat mental. Berkat pertolongan dan perlindungan dari Allah Swt semua siksaan dan penderitaan selama berada dalam tahanan itu juga ada hikmahnya bagi dia. Dimana dia dapat mengarang sebuah kitab Tafsir al–Qur’an yang beliau beri nama “ Kitab Tafsir al – Azhar “ dan sekaligus merupakan sumbangannya yang terbesar bagi umat manusia. Dimana dia berkata: “ Sebaiknya sayalah yang mengucapkan terima kasih kepada yang menahan saya, karena selama dua tahun dalam tahanan dan di rumah sakit persahabatan, saya telah berhasil mengarang Tafsir al–Qur’an yang tidak dapat saya selesaikan dalam tempo 20 tahun diluar tahanan“. Setelah keluar dari tahanan dia lebih banyak mencurahkan dan menyisihkan waktu dalam soal agama saja, seperti memberi kuliah subuh, ceramah melalui RRI, TVRI dan membina Masjid Agung al–Azhar dengan sebagai imam besar.
Pada tahun 1967 dia direabiliter oleh presiden Suharto dan larangan menyebarkan buku–buku karangannnya dicabut kembali sedangkan dalam organisasi Muhammadiyah sejak tahun 1971. dia ditetapkan menjadi penasehat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayat. Berkat ilmu pengetahuan yang di dapati dengan cara belajar sendiri, maka pada tanggal 8 Juni 1974 Buya Hamka mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Melaysia Kuala Lumpur.
Pada bulan Juni 1975 berdirilah MUI dan Buya Hamka terpilih menjadi ketua pertama sampai tahun 1981 dia meletakkan jabatan setelah heboh soal fatwa mengenai kehadiran umat Islam dalam perayaan Natal.
Disamping terkenal sebagai ulama besar, dia juga terkenal sebagai pengarang yang sangat produkif hampir seluruh waktunya dicurahkan pada dunia tulis–menulis. Di dunia tulis–menulis ia rintis pada usia yang relatif muda yaitu pada usia 17 tahun. Dia sudah berhasil mengarang sebuah buku, satu keistimewaan dia dalam menulis, dimana hasil karya–karyanya enak dibaca karena didalamnya disertai bahasa yang indah dan menawan setiap pembaca. Disamping itu juga mudah pula dipahami maksud isinya. Inilah salah satu faktor yang menyebabakan pembaca buku– buku Buya Hamka tidak bosan, banyak sekali buku–buku yang dia karang meliputi berbagai ilmu antara lain: sejarah, filsafat, tasawuf , fiqih, roman dan lainnya. Hamka telah mengarang buku kurang lebih sebanyak 150 buah buku sebagaimana yang tertera didalam buku perjalan terakhirnya disebutkan: “Dari semenjak menciptakan buku “ Khatibul Ummah “ yang merupakan buku agama pertama dibuatnya dengan menggunakan bahasa arab sampai pada buku yang paling besar dan terakhir ialah : “ Tafsir al–Qur’anul Karim al–Azhar “ tidak kurang 113 buku sedangkan buku–buku lainnya dari sejak “ Tengelamnya Kapal Van Der Wijcknya dan Dibawah Lindungan Ka’bah “ roman yang bernafaskan agama Islam sampai pada politik, filsafat, yang telah dimuatnya mencapai 150 buku.

C. METODE DAN CORAK TAFSIR AL-AZHAR
Tiap–tiap tafsir pasti memberikan suatu corak atau haluan dari penafsirnya, seperti halnya dalam Tafsir al-Azhar ini. Dalam penafsirannya Buya Hamka memelihara sebaik mungkin antara naql dan akal, dirayah dengan riwayah dan tidak semata–mata mengutip atau menukil pendapat orang terdahulu, tetapi mempergunakan pula tujuan dan pengamalannya. Oleh sebab itu, Tafsir al-Azhar ini ditulis dalam suasana baru di negara yang penduduk muslimnya lebih besar jumlahnya daripada penduduk muslim di negara lain. Maka pertikaian madzhab tidaklah dibawa, juga tidak ta’asub (fanatik) kepada suatu faham, melainkan mencoba segala upaya mendekati maksud ayat, menguraikan makna lafadz bahasa Arab ke dalam bahas Indonesia serta memberi kesempatan orang buat berfikir.
Tafsir al-Azhar adalah tafsir yang berkombinasi antara bil ma’tsur dan bil ra’yi, sebagaimana ia katakan bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an ia menganut madzhab salaf yaitu madzhab Rasulullah dan para sahabat serta ulama-ulama yang mengikuti jejaknya. Dalam hal ibadah dan aqidah dia memakai pendekatan taslim, artinya menyerahkan dengan tidak banyak bertanya, melainkan meninjau mana yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran untuk diikuti dan meninggalkan yang jauh menyimpang. Tidaklah nabi mengikat dengan satu cara yang sudah nyata tidak akan sesuai dengan perkembangan zaman. Ijtihad dalam hal ini adalah solusinya dengan jalan bermusyawarah, yakni memungut suara serta mengambil keputusan atau dalam bahasa sekarang disebut prosedur sidang. Sebab dalam masyarakat mesti ada syūra.

D. POLITIK DALAM TAFSIR AL-AZHAR
1. Masalah Syūra
Hamka dalam karyanya tidak memberikan definisi secara jelas tentang syūra. Ia menjelaskan bahwa al-Qur’an dan hadis tidak memberikan informasi detail tentang bagaimana melakukan syūra. Sebagai bahan pertimbangan Rasulullah dalam hal ini memakai menteri-menteri utama seperti Abu Bakar, Umar, dan menteri tingkat kedua yakni Usman dan Ali, kemudian terdapat enam menteri lain, serta satu menteri ahli musyawarah dari kalangan Anshar. Islam menurut Hamka telah mengajarkan pentingnya umat mempraktikkan sistem syūra ini. Sementara itu, teknik pelaksanaanya tergantung pada keadan tempat dan keadaan zaman.
Sementara itu, menurut Hamka dalam Qs: as-Syu@ra ayat 38 mengandung penjelasan bahwa kemunculan musyawarah disebabkan karena adanya jamaah. Dalam melakukan shalat diperlukan musyawarah untuk menentukan siapa yang berhak untuk menjadi imam. Dengan demikian, menurut Hamka dasar dari musyawarah telah ditanamkan sejak zaman Makah. Sebab, ayat ini (al-Qur’an surah as-Syu@ra) diturunkan di Makah. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa dalam menjalankan musyawarah harus didasarkan pada asas al-maslah{at. Nabi dalam hal ini menegaskan segala urusan terkait dengan dunia, misal masalah perang, ekonomi, hubungan antar sesama manusia dibangun atas dasar dibangun atas dasar timbangan maslahat dan mafsada@t-nya.
Hamka dalam hal ini mengkontekskan ayat al-Qur’an tentang syūra dalam konteks keindonesiaan. Menurutnya, bangsa Indonesia dapat memilih sistem pemerintahan dalam bentuk apapun untuk menjalankan roda pemerintahan, tetapi tidak boleh meninggalkan sistem sura yang di dasarkan atas maslahat. Sampai di sini dapat dikatakan bahwa maslahat adalah prinsip dasar dalam melakukan syūra yang wajib dilakukan oleh setiap bangsa dan negara.
2. Masalah Negara dan Kepala Negara
Hamka menyatakan bahwa suatu umat adalah semua kaum yang telah terbentuk menjadi suatu masyarakat atau kelompok, mereka menjadi satu atas dasar persamaan keyakinan. Adapun tegak berdirinya suatu negara atau kekuasaan dimulai sejak manusia mengenal bermusyawarah dan bernegara, di mana kekuasaan dari segala bentuknya adalah milik Allah, yang telah menjadikan manusia sebagai pemimpin atau khalifah dalam menjalankan kekeuasaan tersebut, yang dibarengi dengan aturan-aturan yang telah ditentukan Allah dalam nas.
Dalam keyakinan Islam, manusia mengatur negara bersama-sama atas kehendak Tuhan. Pengangkatan presiden, sultan, raja harus berada di bawah kekuasaan Tuhan yang dijelaskan dalam nas, Hamka menyebutnya dengan “Demokrasi Taqwa”. Majunya suatu kelompok masyarakat adalah manakala mereka memegang teguh peraturan-peraturan Allah, dan runtuhnya masyarakat manakala mereka meninggalkan-Nya. Tidak ada satupun yang dapat menghalangi keruntuhan itu.
Sementara itu, terkait dengan syarat bagi seorang pemimpin (kepala negara), Hamka menyatakan ada dua hal yang harus dipenuhi seorang pemimpin. Pertama, ilmu yakni ilmu tentang kepemimpinan. Kedua, badan, yakni sehat, dan tampan sehingga memunculkan simpati. Ditambahkan pula bahwa pemimpin tersebut haruslah orang Islam sendiri, agar tidak menimbulkan instabilitas dan keruntuhan kaum muslim.
Lebih lanjut, Hamka menjelaskan bahwa tugas seorang pemimpin adalah meramaikan bumi, memeras akal budi untuk mencipta, berusaha, mencari, menambah ilmu, membangun kemajuan dan kebudayaan, mengatur siasat negeri, bangsa dan benua.
3. Masalah Hubungan Agama dan Negara
Islam adalah suatu ajaran dari langit, mengandung syari@’at dan ibadah, mua@malat (kemasyarakatan), dan kenegaraan. Semua datang dari satu sumber, yakni tauhid. Tauhid tidak boleh dipisahkan, misal hanya melakukan shalat saja, sementara kenegaran diambil dari ajaran lain. Jika ada keyakinan lain bahwa ada ajaran lain untuk mengatur masyarakat yang lebih baik dari Islam, maka kafirlah orang tersebut, meskipun orang itu masih melaksanakan shalat lima waktu. Hal ini tidak aneh, sebab tauhid bagi Hamka adalah pembentuk bagi tegak dan teguhnya suatu bangsa.
Hamka ketika menafsirkan Qs: al-Baqa@rah (2): 283 menyimpulkan bahwa antara Islam dan negara adalah satu kesatuan, tidak ada yang dapat memisahkan urusan dunia dan agama bahkan dalam kaitannya dengan masalah urusan muamalah, hubungan manusia dengan manusia yang lain (hukum perdata). Sebab, Islam menghendaki hubungan yang lancar dalam segala urusan. Pendapatnya ini juga ditemukan dalam tulisannya yang lain bahwa dalam sejarah Islam tidak pernah ditemukan pemisahan antara agama dan negara.

E. ANALISIS
1. Masalah Syūra
Istilah Syūra berasal dari kata شاور- يشاور (sya@wara-yusyāwiru) yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. تشاور (tasyāwara) berarti saling berunding, saling tukar pendapat. Secara Lugawi Syūra berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah atau konsultasi. Sedang menurut istilah berarti sarana dan cara memberi kesempatan pada anggota komunitas yang mempunyai kemampuan membuat keputusan yang sifatnya mengikat baik dalam bentuk peraturan hukum maupun kebijaksanaan politik. Menurut Abu Faris syūra adalah pemutarbalikan bernagai pendapat dan arah pandangan yang terlempar tentang suatu masalah, termasuk pengujianya dari kaum cendekiawan, sehingga mendapat gagasan yang benar, dan baik, sehingga dapat mrncerminkan konklusi yang paling baik.
Konsep syūra sendiri menurut Fazlur Rahman senyatanya merupakan suatu proses di mana setiap orang harus saling berkonsultasi dan mendiskusikan persoalan secara konstruktif dan kritis untuk mencapai tujuan bersama. Semua itu diletakkan dalam kerangka nilai keadilan, kesederajatan, dan pertanggungjawaban sehingga tujuan yang ingin dicapai benar-benar bersifat objektif dan independen. Menurut Munawir Sjadzali, dalam bukunya “Islam dan Tata Negara” menyebutkan musyawarah merupakan petunjuk umum dalam menyelesaikan masalah bersama, soal teknisnya tidak ada pedoman baku, maka ijtihad merupakan jalan keluarnya Qs: A@li Imra@n (3):159, Qs: as-Syūra (42):38.
Islam dalam hal ini sangat menekankan kepada umatnya untuk mengembangkan konsep syūra dalam mengangkat dan menyelesaikan berbagai persoalan yang bersentuhan dengan persoalan publik, terutama masalah politik yang dalam realitasnya memiliki sisi-sisi yang sangat rentan konflik. Dengan demikian, konsep syūra ini adalah termasuk prinsip-prinsip dasar yang terkait erat dengan masalah negara dan pemerintahan serta hubungan dengan kepentingan rakyat yang dalam kacamata al-siya@sah al-syari@’ah meliputi tiga aspek utama. Pertama al-dustu@riyyah, meliputi aturan pemerintahan prinsip dasar yang berkaitan dengan pendirian suatu pemerintahan, aturan-aturan yang terkait dengan hak-hak pribadi, masyarakat dan negara. Kedua, khari@jiyyah (luar negeri), meliputi hubungan negara dengan negara yang lain, kaidah yang mendasari hubungan ini, dan aturan yang berkenaan dengan perang dan perdamaian. Ketiga, ma@liyyah (harta), meliputi sumber-sumber keuangan dan perbelanjaan negara.
Berdasarkan tiga teori ini, maka konsep Hamka tentang syūra masuk dalam kategori dustu@riyyah. Sebab, ia berdasarkan Qs: as-Syūra (42):38 memandang syūra sebagai pokok dan asas pemerintahan dalam pembangunan masyarakat dan negara Islam. Ayat ini pada akhirnya menjadi refernsi yang urgen dalam teori politik Islam, khususnya terkait dengan suksesi kepemimpinan dalam Islam, seperti teori ahl al-hall wa al-‘aqd (anggota parlemen).
2. Masalah Negara dan Kepala Negara
Tauhid bagi Hamka adalah dasar bagi pembentukan dan persatuan suatu bangsa. Pandangan Hamka ini menurut penulis dipengaruhi oleh teori “Theo-Demokrasi”nya al-Maududi. Kepala negara atau masalah kepemimpinan adalah masalah yang rentan dengan konflik. Kepemimpinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-khilāfah, sedangkan pemimpin disebut dengan al-khali@fah. Arti primer kata khali@fah, yang bentuk pluralnya khulafā dan khalāif berasal dari kata khalafa, adalah “pengganti”, yakni seseorang yang mengantikan tempat tempat orang lain dalam beberapa persoalan. Menurut Al-Raghi@b khilāfah adalah mengantikan yang lain, ada kalanya karena absennya yang digantikan, mati, atau karena ketidakmampuan yang digantikan.
Dalam kamus dan ensiklopedi berbahasa Inggris khalifah berarti wakil (deputy), penggantian (successor), penguasa (vicegerent), titel bagi pemimpin tertinggi komunitas muslim sebagai pengganti nabi. Dalam Ensiklopedi Indonesia diartikan sebagai istilah ketatanegaraan Islam, dan berarti kepala negara atau pemimpin tertinggi umat Islam. Istilah khalifah pertama kali muncul di Arab pra-Islam dalam suatu prasasti Arab abad ke-6 M. Kata khalifah dalam prasasti ini menunjuk kepada semacam raja atau letnan yang bertindak sebagai wakil pemilik kedaulatan yang berada di tempat lain. Istilah ini dalam kesejarahan Islam digunakan dalam bentuk khali@fah ar-Rasu@l.
Dalam hal ini, pandangan Hamka tentang khalifah sebagai penerus risalah kenabian baik dalam urusan agama dan dunia juga dipengaruhi atas pembacaannya terhadap berbagai turas Islam.
3. Masalah Hubungan Agama dan Negara
Para sosiolog teoritisi politik Islam merumuskan tiga teori hubungan antara agama dan negara. Pertama, paradigma integralistik, yakni agama dan negara menyatu (integrated). Pemerintahan diselenggarakan atas dasar “kedaulatan Illahi” (divine soveregnity). Kedua, paradigma simbiotik, yakni agama dan negara berhubungan secara simbiotik atau timbal balik. Ketiga, paradigma sekularestik dengan mengajukan konsep pemisahan (disparitas) agama dan negara. Paradigma ini memisahkan urusan agama dan urusan negara secara diametral.
Berangkat dari teori ini, maka pandangan Hamka masuk dalam kategori paradigma integralistik. Sebab, ia memiliki pandangan bahwa hubungan antara Islam dan negara adalah satu kesatuan.

F. KESIMPULAN
Teori sosiologi menyebutkan, bahwa terdapat pengaruh nilai-nilai sosial terhadap semua persepsi tentang realitas, teori ini juga menyatakan, bahwa tidak ada praktik penafsiran (act of commong to understanding) dapat terhindar dari kekuatan formatif latar belakang (background) dan komunitas paradigma yang dianut oleh seorang penafsir.
Buya Hamka adalah seorang pujangga, ulama, pengarang, dia juga dikenal sebagai politikus yang berseberangan dengan politik pemerintah waktu itu. Oleh karena itu, Hamka ketika ia “menziarahi” ayat-ayat politik, ia berusaha menemukan, mengidentifikasi, dan menafsirkan prinsip-prinsip fundamental dari al-Qur’an dalam kaca mata politik Islam yang dianutnya, tentunya politik yang berbeda dengan kebijakan politik pemerintah. Hal ini tampak dari pemikirannya tentang “Demokrasi Taqwa”, dan hubungan antara agama dan negara yang menyatu.

DAFTAR PUSATAKA

‘Ali as-S}ābu@n@i, Al-Tibyān fi Ulūm al-Qur’ān, Beiru@t: Dār al-Iftikār, 1990.

A. Maftuh Abegebriel N.A. Abafaz dan, Fundamentalisme Hadis”, dalam A. Agus Maftuh Abegebriel dan A. Yani Abeveiro, Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia, Yogyakarta: SR-Ins Publishing, 2004.

Abdullah Hasan, Ummah or Nation?,Identity Crisis in Contemporary Muslim Society, Leicester: The Islamic Foundation, 1992.

Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Posisi Sentral al-Qur’an dalam Studi Islam”, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian agama; Sebuah pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.

Al-Ah}ām al-Sult}āniyyah (Beiru@t: Dār al-Fikr, t.t.), hlm. 3.

Ali Abd al-Raziq, Al-Isla@m wa Us}u@l al-H}ukm: Bah}s al-Khila@fah al-H}uku@mah fi@ al-Isla@m (Kairo: Mat}baah al-Musya@rakah, 1925.

Al-Maududi, Al-Islām wa al-Madaniyah al-H}adi@sah, al-Qahirah: Dār al-Ansa@r, 1978.

Al-Rāghib al-As}faha@ni, Mu’jam Mufradāt li al-Fāz} al-Qur’ān, Mesir: Must}afa al-Bāb al-Halabi, 1961.

Al-Zarqāni, Manāhil al-‘Irfān fi@ Ulu@m al-Qur’ān, Beiru@t: Dār al-Ikhyā’ al-Kutu@b al-‘Arābiyyah, t.t.

Bernad Lewis, The Political Language of Islam, Chicago: University of Chicago, 1988.

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Di Indonesia, Jakarta: Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana, 1993.

Fazlur Rahman dalam Islamic Studies Vol. VI, No. 2, 1967.

Grant S. Osborne, The Hermeneutical Spiral, Downers Grore-Illionis: University Press, 1991.

Hamka, Islam Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka panjimas, 1984.

Hamka, Tafsir al-Azha, Jakarta: Pembimbing Masa, 1973.

Harun Nasution (ed.), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Depag, 1993.

Ibn Manz}ur, Lisān al-Arab, Beiru@t: Dār S}adhr. Vol.V .t.t.

M. Abdul al-Manar, Pemikiran Hamka, Kajian Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Prima Aksara, 1993.

M. Abdul al-Manar, Pemikiran Hamka, Kajian Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Prima Aksara, 1993.

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.

Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, terj. Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq, Yogyakarta: 1996.

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakikat Sistem Politik Islam, Yogyakarta: PLP2M, 1987.

Muhammad Ibn Jari@r at-T{abāri, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wi@l ayi al-Qur’ān, Beiru@t: Dār al-Fikr, 1984.

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, 1993.

Qamaruddin Khan, Al-Mawardi’s Theory of the State, Delhi: Muhammad Ahmad for Idarah Adabiyah, 2009, 1979.

Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taymiyah, Delhi: Adam Publisher & Distributions, 1992.

T.W. Arnold, “Khalifa” dalam M.TH. Houstma, (ed.), First Encyclopedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1987.

Tim, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichiar baru Van Hoeve, 1982.

Tim, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichiar baru Van Hoeve, 1982.

JURNAL ILMIAH DOSEN DAN MAHASISWA

Aspek Pengembangan Karir

jurnal ilmiah dosen dan mahasiswa dalam rangka pengembangan karir dan keilmuan di lingkungan fakultas USADA

Pengajuan usulan kenaikan pangkat menjadi agenda rutin Fakultas Syariah, Ushuluddin, dan Dakwah IAINU Kebumen melalui upaya sistematis terencana yang terwujud dalam sosialisasi, konsultasi, fasilitasi teknis bagi dosen tetap sesuai dengan peraturan yang ada. Kenaikan pangkat periodik sebagai bentuk ikhtiar struktural Fakultas Syariah, Ushuluddin, dan Dakwah dan Keguruan untuk memotivasi para dosen meningkatkan kompetensi
sehingga dapat menaikkan kualitas akademik secara umum.

Kebebasan yang bertanggung jawab diberikan Fakultas Syariah, Ushuluddin, dan Dakwah IAINU Kebumen kepada dosen yang mendapat amanat untuk melaksanakan pengabdian masyarakat dan mengikuti kegiatan tertentu demi pengembangan karirnya, dengan ketentuan mengganti jadwal perkuliahan yang terpakai untuk kegiatan tersebut.

Semua dosen pada Fakultas Syariah, Ushuluddin, dan Dakwah IAINU Kebumen mempunyai kualifikasi minimal strata pendidikan jenjang S2. Tidak terdapat Kendala signifikan yang mengganggu proses perkuliahan.

Acceptabilitas dosen dalam penyelenggaraan perkuliahan cukup baik berdasarkan data penjamin mutu melalui penilaian Mahasiswa. Beragam organisasi profesi maupun non profesi sebagai bentuk pengabdian masyakat diikuti oleh dosen. Kegiatan penelitian mandiri maupun kolaboratif secara kuantitas dan kualitas cukup baik terdapat kendala terkait acces ke jurnal internasional yang belum sesuai harapan. Akses dosen terhadap competitive research, belum maksimal untuk mendapatkan hibah penelitian.

Secara kuantitas dan kualitas, dosen di fakultas Syariah, Ushuluddin, dan Dakwah IAINU Kebumen memenuhi kriteria standar demi berlangsungnya kegiatan akademik Pembagian tugas mengajar pada Fakultas Syariah, Ushuluddin, dan Dakwah IAINU Kebumen ditentukan dalam rapat bersama dengan prinsip pembagian beban kerja yang sesuai dengan porsinya dan pengaturan waktu kerja menjadi aspek utama yang sering disosialisasikan Fakultas pada dosen untuk memaksimalkan potensi dalam research.