PANDANGAN AMINA WADUD MUHSIN TENTANG KONSEP KEPEMIMPINAN RUMAH TANGGA

Oleh: Nuraini Habibah, M.S.I.

  1. Pendahuluan

 

Pada umumnya rumah tangga didefinisikan sebagai sebuah keluarga yang terdiri dari suami isteri, dan anak-anak. Keluarga merupakan sebuah institusi yang menyimpan isu dan problematika yang berkepanjangan. Probematika yang muncul dari kehidupan berumahtangga atau keluarga senantiasa aktual apalagi dalam situasi dan pola masyarakat yang selalu berubah. Kondisi semacam ini membutuhkan seorang pemimpin yang mampu dan punya kelebihan untuk menyelesaikan problematika, sehingga tercipta sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, damai, tenang dan tentram.

Konsep Islam menyatakan bahwa pimpinan keluarga adalah laki-laki (QS. An Nisa/4: 34). Konsep ini bisa diterima ketika laki-laki/suami memang memenuhi syarat sebagai pemimpin keluarga sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut: memiliki kelebihan atas perempuan/isteri dan memberikan nafkah kepada keluarga/isteri dan anak-anak. Konsep ini kemudian menuai masalah ketika suami tidak lagi memenuhi syarat-syarat tersebut, apakah suami tetap menduduki posisi sebagai pemimpin keluarga atau kepemimpinannya menjadi gugur? Permasalahan ini kemudian menggelitik para feminis terutama untuk mengkaji kembali penafsiran terhadap ayat tersebut, salah satunya adalah Amina Wadud Muhsin.

 

  1. Amina Wadud Muhsin dan Penafsiran Ayat-ayat Gender

Amina Wahdud Muhsin lahir di Amerika pada tahun 1952.1 Pendidikan dasar hingga perguruan tingginya diselesaikan di negeri kelahirannya. Dia memperoleh gelar Sarjana di Universitas Antar Bangsa, Malaysia, sedang gelar Masternya diperoleh di Michigan University USA (1991-1993). Sekarang Amina Wadud Muhsin menjabat sebagai dosen Islamologi di Universitas Antar Bangsa. Dia juga seorang guru besar (Profesor) pada Commonwealth University di Richmond Virginia. Sebagai dosen, dia tidak hanya mengajar, akan tetapi juga banyak melakukan riset-riset dan telaah-telaah.

Sebagaimana kebanyakan wanita modern yang lahir setelah tahun 1950-an dan banyak mengenyam pendidikan serta kehidupan Barat, pada akhirnya Amina Wadud Muhsin juga tidak bisa menerima suatu ketimpangan relasi antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam segala hal, yang tidak bisa dipungkiri berasal dari sebuah pemahaman yang keliru terhadap teks agama. Berangkat dari persoalan inilah, Amina Wadud Muhsin merasa tertarik untuk membuka kembali khasanah dan bibliografi klasik maupun modern, guna membangun peradigma baru mengenai relasi antara laki-laki dan kaum perempuan.

Ketertarikan terhadap kajian gender dan feminisme dituangkan dalam tulisannya yang tajam, yang terbesar luas di dalam dan luar negeri. Menurutnya relasi antara laki-laki dan perempuan tidak terstruktur sebagaimana yang telah dibentuk oleh nenek moyang.

Sejak masih muda, Amina Wadud Muhsin dikenal sebagai tokoh yang aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang secara intensif memperjuangkan hak-hak perempuan baik pendidikan, pengajaran dan relasi-relasi yang lain semisal bisnis. Berkat kepedulian dan keterlibatannya yang jauh pada perjuangan hak-hak perempuan ini, akhirnya dia dijadikan sebagai tokoh pembawa gerbong feminisime di negaranya.

Salah satu karya Amina Wadud Muhsin yang terbesar sampai ke Indonesia adalah buku yang berjudul Qur’an and Woman yang sudah diterjemahkan oleh Yaziar Radianti menjadi Wanita di dalam al-Qur’an. Amina Wadud Muhsin mengawali bukunya ini dengan mengkritik penafsiran-penafsiran selama ini mengenai masalah perempuan dalam Islam. Dia membagi penafsiran tersebut menjadi tiga kategori : Tradisional, reaktif dan holistik.

Menurut Amina Wadud Muhsin, tafsir tradisional menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai minat dan kemampuan penafsirannya; sharaf, nahwu, fiqih, tarikh, tasawwuf dan sebagainya. Metodologi yang digunakan adalah metode atomistik,  artinya penafsiran dilakukan dengan mengupas ayat per ayat secara berurutan. Tidak ada upaya untuk pengelompokan ayat-ayat sejenis ke dalam pokok bahasan yang tematis. Mungkin saja ada pembahasan munasabah antar ayat, namun ketiadaan pembahasan hermeneutik, suatu metodologi yang menghubungkan ide, struktur sintaksis atau tema serupa membuat pembacanya gagal menangkap weltanschaung al-Qur’an. Yang digarisbawahi Amina Wadud Muhsin dalam tafsir ini adalah eksklusivismenya; yakni ditulis hanya oleh pria. Karenanya hanya pria dan pengalaman pria sejalan yang diakomodir dalam tafsir ini. Sementara wanita beserta pengalaman, visi, perspektif, kebutuhan dan keinginannya ditundukkan pada pandangan dan pengalaman pria.15

Katagori kedua adalah tafsir yang isinya terutama berisi reaksi pada pemikir modern terhadap sejumlah hambatan yang dihadapi wanita, yang dianggap berasal dari al-Qur’an. Persoalan yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal dari gagasan kaum feminis dan rasionalis, tanpa dibarengi analisis yang komprehensif terhadap ayat-ayat bersangkutan. Dengan demikian meskipun semangat yang dibawa adalah pembebasan, namun tidak terlihat hubungan dengan ideologi dan teknologi Islam, yakni al-Qur’an.16

Kategori ketiga adalah tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan menghubungkannya dengan berbagai persoalan; moral, sosial, ekonomi dan politik yang ada pada era modern ini. Menurut Amina Wadud Muhsin, kategori ini adalah kategori terbaik. Sehingga dia meletakan karyanya pada kategori ini.

Dalam menulis bukunya, Amina Wadud Muhsin menggunakan metode hermeneutik, yaitu suatu metode penafsiran kitab suci, yang dalam pengoperasiannya dalam rangka memperoleh kesimpulan makna suatu teks (ayat), selalu berhubungan dengan tiga aspek dari teks: 1. Dalam konteks apa ayat diwahyukan, 2. Bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut (sebagaimana pengungkapannya dan apa yang dikatannya) dan 3. Bagaimana keseluruhan teks (ayat), Weltanschauung-nya atau pandangan hidupnya.17

Dalam menulis buku Qur’an and Woman Amina Wadud terinspirasi oleh pemikiran Fazlur Rahman. Hal ini bisa dilihat dari metode yang digunakannya yaitu metode hermeneutik yang pernah ditawarkan oleh Fazlur Rahman. Dengan jujur Amina Wadud mengatakan : “Thus I attempt to use method of qur’anic interpretation proposed by Fazlur Rahman.”18Fazlur Rahman mengatakan bahwa semua ayat-ayat al-Qur’an pada saat diturunkan pada waktu tertentu dalam sejarah, beserta keadaan yang umum maupun yang khusus yang menyertainya menggunakan ungkapan yang relatif mengenai keadaan tersebut. Tetapi bukan berarti pesan al-Qur’an dibatasi oleh waktu atau keadaan tersebut. Pembaca atau penafsir harus paham implikasi yang tersirat dari pernyataan al-Qur’an sewaktu diturunkan dalam upaya menentukan makna utamanya. Bagi generasi Islam selanjutnya yang hidup pada situasi dan kondisi yang berbeda, tetap memperhatikan makna utama yang dikandungnya.19Dengan demikian, menurut Amina Wadud Muhsin bahwa dalam usaha memelihara relevansinya dengan kehidupan manusia, al-Qur’an harus terus-menerus ditafsirkan ulang.

Pemikir lain yang juga dijadikan sumber inspirasi penafsiran Amina Wadud adalah Sayyid Quthb. Hal ini bisa lihat dalam penafsirannya terhadap surat al-Nisa’34 yang banyak mengadopsi pemikiran Sayyid Quthb.20

Amina Wadud menolak penafsiran terhadap kata-kata tertentu yang menunjukkan pada jenis kelamin – yang sebenarnya bertujuan memenuhi fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk universal – sebagai petunjuk bagi jenis kelamin tententu saja. Amina memaknai kata-kata tertentu tersebut sebagai kata-kata yang bersifat netral, tidak menunjuk pada laki-laki maupun perempuan.21 Sebagai contoh surat al-Takhrim : 10-12 menyatakan “Dan Maryam Bin Imran yang menjaga kehormatannya kemudian Kami tiupkan ruh kepadanya (sehingga ia melahirkan Isa) dan ia membenarkan kalimat Tuhan dan kitab-kitabNya dan ia termasuk orang-orang yang taqwa”. Contoh keteladanan yang Allah nyatakan secara khusus ini, biasanya diinterpretasi sebagai ayat yang eksklusif bagi wanita. Contoh keteladanan ini sebenarnya ditujukan kepada semua individu yang beriman bukan khusus ditujukan kepada wanita.22

Amina Wadud juga menolak penafsiran yang menyatakan bahwa pernyataan yang khusus tertuju pada masyarakat Arab abad ke 7, abad diturunkannya al-Qur’an dianggap bersifat universal dengan pengertian bisa berlaku dimanapun dan kapanpun.23

Secara ringkas, metode penafsiran yang digunakan oleh Amina Wadud Muhsin melalui lima kategori analisis : (1) Di dalam konteksnya, (2) Di dalam konteks pembahasan topik yang sama dalam al-Qur’an. (3) Menyangkut bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan dalam al-Qur’an. (4) Berpegang teguh pada prinsip al-Qur’an dan (5) Dalam konteks al-Qur’an sebagai pandangan hidup.24

Bentuk maskulin dan feminin dalam bahasa mejadi bagian penting analisis Amina. Menurutnya perspektif masyarakat tentang jenis kelamin termasuk karakter dan peran yang diatributkan kepada pria dan wanita, sangat dipengaruhi oleh konteks cultural yang dibentuk oleh bahasa.

Bahasa yang memiliki gender (jenis kelamin) seperti bahasa Arab, melahirkan prior text tertentu bagi pemakainya, segala sesuatu diklasifikasikan menjadi laki-laki dan perempuan. Tetapi bagi pemakai bahasa lain klasifikasi tersebut tidak seketat bahasa Arab.25Oleh sebab itu, menurut Amina Wadud Muhsin dalam rangka menggali makna utama al-Qur’an sebagai ramatan lil ‘alamin, yang pertama-tama harus disadari adalah bahwa penggunaan bentuk maskulin dan feminin dalam al-Qur’an bukan lantas berarti pembatasan jenis kelamin.

Pandangan Amina Wadud Muhsin tersebut berdasar pada kenyataan sosiologis yang berlaku, bahkan melekat dalam benak masyarakat yang menganggap wanita itu makhluk lemah, inferior, mewarisi kejahatan, lemah spiritual dan intelektual dan sebagainya. Padahal menurutnya, meskipun al-Qur’an tidak menghapus perbedaan pria dan wanita atau pentingnya perbedaan jenis kelamin, al-Qur’an tidak mengusulkan atau mendukung peran tunggal setiap jenis kelamin.

  1. Kepemimpinan Rumah Tangga dalam Perspektif Mufassir dan Feminis

Dalam Islam yang menjadi rujukan utama konsep kepemimpinan rumah tangga adalah surat al-Nisa’ : 34 :

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artinya:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.[25]

 

Ayat tersebut mendatangkan kontroversi penafsiran di antara para mufassir[26] dan para feminis Muslim. Sebagian mufassir mengintrerpretasi ayat tersebut dengan laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Alasan mengapa laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan adalah pertama, karena laki-laki (suami) di beri kelebihan oleh Alloh SWT. Kedua, karena laki-laki membelanjakan hartanya untuk menafkahi perempuan (istri). Menurut mereka kelebihan laki-laki yang merupakan pemberian Allah SWT adalah kelebihan intelektual, kelebihan dalam bidang agama, kelebihan fisik dan kelebihan dalam memperoleh warisan. Menurut mereka kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam konteks rumah tangga adalah bersifat normatif. Artinya sudah merupakan ketentuan yang baku dari al-Qur’an yang sudah tidak bisa berubah.

Penafsiran semacam itu sangat di gugat oleh beberapa feminis Muslim. Fatima Mernissi , Amina Wadud Muhsin, dan Asghar ali Engineer misalnya mengakui kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam konteks rumah tangga. Akan tetapi  kepemimpinan tersebut bersifat kontekstual, bisa berubah seiring dengan perubahan situasi dan kondisi sosial budaya masyarakat. Menurut mereka kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam konteks rumah tangga sebagaimana yang di yakini oleh umat islam pada umumnya, berasal dari pemahaman yang bias gender terhadap firman Alloh SWT, yang termuat dalam surat al-Nisa :34. Maka dari itu sebagian feminis muslim mencoba menafsirkan kembali ayat tersebut.

  1. Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga Menurut Amina Wadud Muhsin

Amina Wadud Muhsin mengawali penafsirannya terhadap ayat tersebut dengan terlebih dahulu mengupas kata fadldlala. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya secara eksplisit menyatakan bahwa Allah telah melebihi (fadldlala) makhluk ciptaannya melebihi yang lainnya (QS. 17:55,70 QS.2: 47,122,253 QS. 6:86)[27]

Meskipun al-Qur’an menegaskan demikian akan tetapi al-Qur’an juga menegaskan bahwa tidak ada perbedaan diantara mereka. Al-Qur’an surat al-Baqarah : 285 menyatakan:[28]

z`tB#uä ãAqߙ§9$# !$yJÎ/ tA̓Ré& Ïmø‹s9Î) `ÏB ¾ÏmÎn/§‘ tbqãZÏB÷sßJø9$#ur 4 <@ä. z`tB#uä «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ߙâ‘ur Ÿw ä-ÌhxÿçR šú÷üt/ 7‰ymr& `ÏiB ¾Ï&Î#ߙ•‘ 4 (#qä9$s%ur $uZ÷èÏJy™ $oY÷èsÛr&ur ( y7tR#tøÿäî $oY­/u‘ šø‹s9Î)ur 玍ÅÁyJø9$# ÇËÑÎÈ

Artinya :  Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan   kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat”. (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali”.

 

Hal ini menunjukan bahwa “pilihan” ini tidaklah mutlak dan menunjukan pula bahwa kata fadldlala itu sangat relatif.

Fadldlala merupakan sebuah ujian bagi seseorang yang dianugerahinya. Fadldlala hanya bisa diberikan oleh Allah kepada siapa saja yang dikehendakiNya dalam bentuk yang dikehendakiNya pula. Selain Allah tidak ada yang bisa memberikannya.Mereka hanya bisa menerima saja.

Kemudian kata “bi” yang terdapat dalam kalimat “bima” Amina Wadud Muhsin menterjemahkan dengan “berdasarkan”. Dalam sebuah kalimat, maknanya adalah karakteristik atau isi sebelum kata “bi” adalah ditentukan “berdasarkan” apa-apa yang diuraikan setelah kata “bi”. Dengan demikian ayat tersebut menyatakan bahwa kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah berdasarkan apa-apa yang telah di lebihkan kepada mereka yaitu laki-laki dari segi bagian yang lain yaitu perempuan (bima fadldlalallah ba’dluhum ‘ala ba’dlin), dan dari apa yang telah mereka (laki-laki) belanjakan dari hartanya untuk menafkahi perempuan (isteri).

Dengan demikian berarti laki-laki qawwamun ‘ala (pemimpin-pemimpin bagi) perempuan dalam hal ini isteri jika disertai dua keadaan. Pertama jika laki-laki mampu menunjukkan kelebihannya, dan kedua jika laki-laki menggunakan kelebihannya itu untuk menafkahi perempuan. Jika dua keadaan tersebut tidak bisa di penuhi oleh laki-laki, maka dengan sendirinya laki-laki tidak bisa menjadi pemimpin bagi perempuan.

Berangkat dari pernyataan diatas, Amina Wadud Muhsin kemudian mencoba membahas dua persoalan klasik: pertama, kelebihan macam apa yang telah diberikan oleh Allah kepada laki-laki, dan kedua, apa yang mereka belanjakan dari hartanya untuk menafkahi perempuan.

Berkaitan dengan persoalan pertama, yakni kelebihan laki-laki yang dianugerahi oleh Allah atas perempuan, Amina Wadud Muhsin menegaskan bahwa satu-satunya kelebihan yang di anugerahkan oleh Allah kepada laki-laki yang di dukung oleh al-Qur’an adalah warisan dalam keluarga, laki-laki menerima dua bagian perempuan.[29] Adapun kelebihan-kelebihan lain yang diatributkan kepada laki-laki oleh sebagian mufassir klasik sama sekali tidak ada rujukannya dalam al-Qur’an.

Dengan demikian maka terdapat korelasi antara persyaratan pertama (laki-laki mendapat dua bagian perempuan dalam warisan) untuk qiwamah dengan persyaratan kedua (laki-laki membelanjakan hartanya untuk menafkahi perempuan). Dengan kata lain laki-laki mendapat hak istimewa dalam memperoleh warisan karena mereka bertanggungjawab memberi nafkah isteri dan anak-anaknya.

Menanggapi persoalan warisan, Amina Wadud Muhsin menyatakan bahwa dalam kenyataannya bagian absolut laki-laki tidak selalu sebanyak itu dibandingkan perempuan. Banyak sedikit diperoleh dari pembagian warisan sangat tergantung pada kondisi tiap-tiap keluarga. Jika laki-laki dan perempuan sama-sama tidak memperoleh harta warisan karena keluarga tidak memiliki harta apapun atau laki-laki memperoleh bagian yang sama dengan perempuan karena memandang keluarganya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan misalnya, atau perempuan juga berperan aktif dalam mencari nafkah karena pendapatan suami tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka kelebihan laki-laki atas perempuan otomatis berkurang.

Kembali pada persoalan fadldlala, Amina Wadud Muhsin berpendapat bahwa kata tersebut tidak bisa tidak bersyarat. Karena surat al-Nisa:34 tidak mengatakan mereka (jamak maskulin) telah dilebihkan atas mereka (jamak feminin). Tetapi ayat tersebut menyebut ba’dl (sebagian) di antara mereka atas ba’dl (sebagai lainnya). Artinya tidak semua laki-laki unggul atas perempuan dalam segala hal. Hanya sebagian laki-laki memiliki keunggulan atas perempuan dalam bidang bidang tertentu. Demikian sebaliknya, sebagian perempuan sangat mungkin memiliki keunggulan atas laki-laki dalam bidang tertentu.

Dengan demikian menurut Amina Wadud Muhsin, jika “apa” yang dilebihkan Allah hanya terbatas kepada materi lebih khusus lagi warisan, maka hakikat “melebihkan” sudah jelas dalam al-Qur’an. Bahkan jika “apa” yang dilebihkan Allah kepada laki-laki lebih dari sekedar harta warisan, tetap saja terbatas pada sebagian diantara mereka atas bagian yang lain (perempuan).

Amina Wadud Muhsin menolak penafsiran yang menyatakan bahwa surat al-Nisa:34 merupakan petunjuk kelebihan laki-laki atas perempuan. Ia juga menolak pandangan yang mengatakan bahwa laki-laki diciptakan superior dibandingkan perempuan dalam hal fisik dan intelektual. Terlebih lagi pandangan yang menilai fadldlala sebagai suatu kelebihan laki-laki atas perempuan yang tidak bersyarat. Tidak membatasi qiwamah hanya dalam konteks keluarga tetapi juga dalam konteks masyarakat secara luas.[30]

Sikap inilah yang kemudian mendorong Amina Wadud Muhsin untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan parameter penerapan kata qawwamun ‘ala apakah semua laki-laki qawwamuna ‘ala semua perempuan? Apakah kepemimpinan tersebut terbatas hanya dalam rumah tangga atau jauh lebih sempit lagi hanya ikatan materi, sehingga kepemimpinan terbatas pada suami atas isterinya saja?

Dalam menanggapi permasalahan-permasalahan diatas nampaknya Amina Wadud Muhsin sepakat dengan pandangan yang dilontarkan oleh Sayyid Quthb. Sayyid Quthb menganggap bahwa qiwamah merupakan masalah yang berkaitan dengan keluarga. Ia membatasi surat al-Nisa:34 hanya menjadi hubungan antara suami isteri, dalam dimensi dukungan material. Menurutnya materi yang diberikan kaum laki-laki kepada kaum perempuan memberinya keistimewaan untuk menjadi qawwamuna’ala kaum perempuan. Alasan pembatasan ayat tersebut menjadi kenteks hubungan suami isteri adalah karena ayat-ayat selanjutnya menyinggung masalah perkawinan, yang menggunakan istilah ganda yang menunjukan bahwa istilah tersebut digunakan dalam konteks antara dua pihak suami dan isteri.[31]

Amina menerapkan ayat ini dalam konteks hubungan fungsional isteri, dalam rangkai mencapai kebaikan kolektif dalam kaitanya dengan hubungan antara pria dan wanita dalam secara kesuluruhan laki-laki bertanggungjawab memberi nafkah isterinya, menurut pertimbangan Amina, lantaran tanggung jawab dan hak wanita untuk melahirkan anak.[32]

Tanggung jawab melahirkan anak merupakan tugas yang sangat berat dan mulia. Eksistensi manusia sangat tergantung pada hal tersebut. Tanggung jawab melahirkan anak mensyaratkan sejumlah hal seperti kekuatan fisik, stamina, kecerdasan dan komitmen personal yang dalam.[33] Sangat tidak adil jika perempuan dengan tanggungjawabnya yang sangat berat tersebut, masih harus dibebani dengan tanggungjawab yang lain. Untuk menciptakan keadilan dan keseimbangan bagi keduanya (suami dan isteri) dan untuk menghindari penindasan terhadap perempuan dengan tanggung jawabnya yang sangat berat maka laki-laki (suami) harus dibebani yang sama beratnya. Al-Qur’an menyebut tanggung jawab sebagai qiwamah[34]. Idealnya segala sesuatu yang dibutuhkan perempuan dalam memenuhi tanggung jawab utamanya (melahirkan anak), seharusnya disediakan oleh kaum laki-laki, jika tidak, maka hal tersebut merupakan penindasan yang serius terhadap perempuan.[35]

Hubungan ketergantungan antara suami dan isteri yang ideal, sejajar, dan saling menguntungkan ini, tidak selamanya terwujud. Terlebih lagi pada kenyataan dewasa ini di mana beban penduduk semakin tinggi dan pendapatan tunggal sang ayah tidak lagi mencukupi. Sehingga mengharuskan kaum perempuan ikut berperan aktif dalam mencari nafkah demi kelangsungan hidup keluarga, atau jika seorang perempuan mandul, sehingga tidak bisa menjalankan tugas utamanya melahirkan anak. Jika terjadi kondisi-kondisi seperti ini, apakah laki- laki (sebagai suami) tetap memiliki qiwamah terhadap perempuan (sebagai istri)?

Permasalahan-permasalahan di atas tidak bisa diselesaikan  jika hanya melihat surat al-Nisa’: 34 ini secara dangkal. Oleh karena itu, untuk mewujudkan nilai- nilai kemanusiaan dan tanggungjawab antara kaum laki-laki dan perempuan, maka ayat-ayat al-Qur’an harus terus-menerus dikaji. Menurut Amina Wadud Muhsin, surat al-Nisa:34 ini menggariskan tanggung jawab yang ideal untuk laki-laki dan perempuan guna menciptakan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat.

Amina Wadud Muhsin memaknai qiwamah dalam dimensi yang lebih luas, tidak terbatas pada qiwamah materi saja, melainkan harus meliputi qiwamah dalam dimensi sepiritual, moral, intelektual dan psikologi. Sikap seperti itu akan menjadikan manusia sungguh-sungguh memenuhi tugasnya sebagai khalifah di bumi.[36]

Kemudian berkaitan dengan bunyi ayat selanjutnya yang membicarakan tentang nusyuz, nampaknya Amina Wadud Muhsin tidak sepakat dengan qanitat yang diterjemahkan dengan kepatuhan yang kemudian dihubungkan dengan kepatuhan terhadap suami. Karena menurutnya, dalam konteks keseluruhan kitab al-Qur’an kata qanitat, bisa digunakan untuk laki-laki dan perempuan. Kata qanitat ini digunakan untuk laki-laki (QS. 2: 238, QS.3:17, QS.33:35) juga digunakan untuk perempuan (QS.4:34, QS.66:5 dan QS.33:35)[37]

Dengan melihat ayat-ayat yang tersebut diatas, maka jelaslah bahwa kata qanitat ini digunakan untuk menyebut karakteristik orang-orang yang beriman yang saling bekerjasama dan tunduk atau patuh kepada Allah SWT. Dengan demikian kata ini tidak dimaknai sekedar kepatuhan antara sesama makhluk.[38]

Dalam memahami makna qanitat, Amina Wadud Muhsin sekali lagi sepakat dengan pendapat yang dilontarkan Sayyid Quthb yang menegaskan bahwa qanitat lebih menunjukan respon emosional dari orang yang saleh ketimbang mengikuti perintah dari luar, sehingga kemudian diikuti dengan sikap tha’a (patuh). Mengenai penggunaan kata tha’a yang mengikuti kata nusyuz, perlu diperhatikan bahwa kata nusyuz juga digunakan baik untuk laki-laki[39] maupun perempuan[40], sehingga kata nusyuz ini tidak bisa diartikan sebagai ketidak patuhan terhadap suami saja. Sayyid quthb menjelaskan kata ini merupakan pernyataan terjadinya ketidakharmonisan dalam suatu perkawinan. Dalam menghadapi keretakan perkawinan, penyelesaian yang dianjurkan al-Qur’an ada tiga tahap (1) solusi verbal antara suami isteri itu sendiri seperti dalam surat al-Nisa’: 34, atau suami isteri dengan bantuan seorang penengah seperti dalam surat al-Nisa :35 dan 128. Jika diskusi terbuka menemui jalan buntu, maka bisa dilakukan solusi yang lebih drastis. (2) boleh dipisahkan. Jika solusi kedua ini tetap menemui jalan buntu maka boleh dilakukan solusi berikutnya (3) memukul. Solusi ketiga ini dilakukan hanya dalam kasus-kasus yang ekstrim dan tidak boleh menjadikan kerusakan atau perkelahian antara suami isteri, karena tindakan itu sama sekali tidak islami.[41]

Tindakan pertama menurut Amina Wadud Muhsin, merupakan solusi terbaik yang ditawarkan dan lebih disukai al-Qur’an. Tindakan tersebut juga sejalan dengan prinsip umum al-Qur’an yaitu syura atau musyawarah, yang merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan dua pihak yang saling bertikai. Dalam surat al-Nisa:128 dengan jelas ditanyakan bahwa perdamaian itu lebih baik. Perdamaianlah yang menjadi tujuan sebuah perkawinan bukan kekerasan atau memaksa pasangannya untuk patuh.

Kemudian untuk solusi kedua yaitu pisah ranjang, menurut amina wadud muhsin hanya bisa dilakukan kepada pasangan yang tidur seranjang terus menerus. Bagi pasangan yang tidak demikian tindakan pisah ranjang tidak berarti sama sekali. Solusi pisah ranjang dimaksudkan agar ada peredaan ketegangan, sehingga masing-masing pihak bisa merenungi dan memikirkan dengan baik persoalan yang dihadapi.

Jika pisah ranjang tidak menghasilkan suatu hubungan yang lebih baik antara suami isteri, bukan bertanda seorang suami secara fisik mulai memukuli isterinya. Keadaan ini masih bisa di tafsirkan sebagai langkah untuk kembali mengadakan penyelesaian damai atau tetap pisah ranjang atau melangkah lebih jauh ke perceraian.

Menurut Amina kata dlaraba dalam lisan al-‘Arab dan Lane’s Lexicon kata dlaraba tidak harus selalu menunjukkan penggunaan paksaan atau  kekerasan. Kata ini digunakan dalam al-Qur’an misalnya dalam dlaraballah matsalan…(Allah memberikan atau membuat contoh….). Kata dlaraba ini juga digunakan jika seseorang yang meninggalkan atau menghentikan suatu perjalanan. Selain kata dlaraba juga bisa berarti memukul berulang-ulang. Akan tetapi, jika makna terakhir ini diterapkan pada perempuan, berarti tindakan ini mirip dengan biografi beberapa sahabat yang dikecam dalam al-Qur’an. Karena ayat tersebut sebenarnya merupakan langkah yang melarang tindakan kekerasan tanpa sebab kepada kaum perempuan (isteri). Jadi tindakan memukul pada dasarnya tidak boleh dilakukan.[42]

Kata tha’a dalam surat al-Nisa:34 perlu di tafsirkan secara kontekstual. Ayat tersebut mengatakan “jika mereka patuh kepadamu, maka menghormati, saling melengkapi dan saling membutuhkan, bukan keinginan menjadikan perempuan (isteri) sebagai hamba kaum laki-laki (suami). Keluarga dipandang sebagai suatu unit yang saling mendukung dan saling memelihara kewajaran sosial, dan bukan suatu lembaga untuk memperbudak perempuan bagi kaum laki-laki yang membelinya, serta hanya berusaha memenuhi kebutuhan fisik dan materi perempuan itu, tanpa memperhatikan aspek yang lebih tinggi dari pengembangan kemanusiaan.

Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, al-Quran lebih menyukai jika perempuan dan laki-laki menikah (QS.4:25) dalam perkawinan harus terdapat suatu keharmonisan (QS. 4:128) di antara keduanya dengan membangun rasa cinta dan kasih sayang (QS. 30:21). Ikatan perkawinan sebagai lembaga yang mampu melindungi laki-laki dan perempuan: ‘Mereka itu (jamak feminin) adalah pakaianmu (jamak maskulin) dan kamu adalah pakaian mereka….’(QS.2:187). Tetapi al-Qur’an tidak menutup kemungkinan timbulnya kesulitan dalam rumah tangga, sehingga al-Qur’an juga menganjurkan jalan penyelesaian jika semua upaya mendamaikan keduanya gagal, maka jalan perceraian boleh dilakukan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Mar’ah fi al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Hilal,1962)

Amina Wadud Muhsin, Wanita di Dalam al-Qur’an, terj. Yaziar Radianti, (Bandung: Pustaka, 1994)

Amina Wadud Muhsin, “Qur’an and Woman” dalam buku Liberal Islam, Editor: Charles Kurzman, (New York: Oxford University Press, 1998)

Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Adhim wa Sab’il Matsani, Jilid III, (t.t.p: Dar al-Fikr, t.t)

Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an Terjemahnya, (Bandung: Gema Risalah Press, 1992)

Sayyid Quthb, Fi Dhilal al-Qur’an, Vol. II, (Cairo: Dar al-Syuruq, 1980)

Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Ta’wil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujud al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-Fikr,1977)

 

1Lihat Amina Wadud Muhsin, “Qur’an and Women” dalam buku Liberal Islam, Edit Charles Kurzman, (New York: Oxford University Press, 1998), hlm. 127.

15 Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al-Qur’an, terj. Yaziar Radianti (Bandung : Pustaka, 1994), hlm.2.

16Ibid., hlm. 3.

 

17Ibid.,hlm 5.

 

18 Charles Kurzman.,Liberal…, op.cit.,hlm.129

19Ibid. hlm.5.

20Amina Wadud Muhsin, Wanita …., op. cit., hlm. 96-100

21Ibid, hlm.5

22Ibid, hlm. 43-46

 

23Ibid, hlm. 6

 

24Ibid., hlm. 7.

25Ibid., hlm.9.

[25]Departemen agama republik Indonesia, al-Quran dan terjemahannya, (bandung: Gema Risalah press,1992,)hlm. 123

 

[26]Lihat at-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Taniil wa ‘Uyun al-Aqqawil fiWujud al-Ta ‘wil, (Beirut : Dar al-Fikr, 1977), hlm. 523-524. Lihat juga al-Alusi, Ruh al-Ma ‘anidi Tasfir al-Qur ‘an al- ‘Adhim wa Sab’I al-Matsani, Jidil III, (t.t.:Dar al-Fikr, t.t), hlm. 23.

[27]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an …., op, cit. hlm.435, 16, 32, 62, 201, 432.201, 432.

[28]Departemen agama Republik Indonesia, Al-Qur’an …., op. cit., hlm. 72

[29] Surat al-Nisa ayat 7 menyatakan: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatanya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an …., opcit, hlm. 116.

[30] Misalnya, al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf, ….Op.cit., hlm. 523, menyatakan bahwa ia menyakini Allah melebihkan laki-laki atas perempuan. Abbas Mahmud al- ‘Aqqad, al-Mar ‘ah fial-Qur’an, (Kairo : Dar al-Hilal, 1962), hlm. 7, menegaskan hal yang sama.

[31] Sayyid Qutb, Fi Dhilal al-Qur’an Vol.II, (Kairo: Dar al –Syaruq, 1980, hlm. 648-653

 

[32]Amina Wadud Muhsin, Wanita …., op. cit., hlm. 96

 

[33] Sayyid Quthb, Fi Dhilalal-Qur’an, … op. cit., hlm. 654.

[34]Amina Wadud Muhsin, Wanita …., op. cit., hlm 97.

 

[35] Sayyid Quthb, Fi Dhilal al-Qur’an, … op.cit., hlm 655.

[36]

 

[37]Untuk mengetahui secara lengkap ayat-ayat tersebut lihat lamipiran I

 

[38]Amina Wadud Muhsin, Wanita …., op.cit., hlm. 99

[39]Lihat Surat Al-Nisa’: 128 yang menyatakan : Dan jika seorang wnaita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebesar-besarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli isterimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an …, op., cit. hlm. 143

 

[40] Lihat surat al-Nia’: 34

 

[41]Amina Wadud Muhsin, Wanita …, op., cit, hlm. 100. Lihat juga Sayyid Quthb, Fi Dhilla …, op. cit., hlm 653

[42]Lihat Amina Wadud Muhsin, Wanita…., op. cit. hlm. 102