MENEMUKAN RUANG AKSIOLOGIS PENDIDIKAN ISLAM DI ERA MILENIAL

MENEMUKAN RUANG AKSIOLOGIS PENDIDIKAN ISLAM DI ERA MILENIAL

 Oleh: M. Khasbi (Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Prodi PAI IAINU Kebumen)

 

Pndahuluan

Urgensi pendidikan di era sekarang menjadi naik skala prioritasnya. Kenapa bisa seperti itu? Sebab, dengan proses pendidikan peradaban manusia, dalam skala urgensi berapapun akan menjadi lebih baik dan tentunya punya karakteristik sesuai dengan model pendidikan yang dilakoninya, termasuk pendidikan islam. Pendidikan islam sebagai cabang dari pendidikan, merupakan model yang ideal untuk membentuk masyarakat menjadi lebih bermartabat. Khususnya, dengan adanya arus globalisasi yang begitu kuat menerpa seluruh fragmen-fragmen kehidupan sekarang ini. Globlalisasi membawa pengaruh positif sekaligus pengaruh negatif pada kehidupan manusia. Salah satu pengaruh negatifnya adalah kerusakan moral sekaligus dehumanisasi, misalnya dengan adanya pencurian yang berjejaring luas sampai keluar negeri, penipuan lewat akun sosial media yang meresahkan masyarakat, sampai perdagangan manusia yang cakupannya sampai ke berbagai negara (cyber crime). Kerusakan-kerusakan moral seperti itu dipicu karena kesadaran akan egalitarianisme yang kian berkurang. Egalitarianisme ini berperan penting membentuk paradigma masyarakat menjadi lebih humanis atau tidak memandang sebelah mata orang lain. Berdasar kemungkinan-kemungkinan itulah, pendidikan islam harus menemukan ruang aksiologinya di era sekarang.

 

Pendidikan Islam: Menanam Egalitarianisme

Pendidikan islam adalah sebuah usaha untuk menanamkan nilai-nilai keislaman yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar oleh subjek pendidikan kepada objek pendidikan. Proses ini bisa kita ketahui dimulai sejak kehadiran islam di dunia Arab, khususnya, sewaktu Muhammad mendakwahkan islam secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Tindakan Nabi Muhammad ini dalam kacamata sejarah pendidikan islam bisa diindikasikan sebagai proses penanaman nilai-nilai islam kepada masyarakat untuk pertamakalinya.

Jika ditelisik lebih mendalam lagi, masyarakat Arab sebelum kedatangan islam dikenal dengan kesukuannya (kelas sosial), sehingga dengan proses penanaman nilai islam yang dilakukan oleh Muhammad tersebut mampu merubah paradigma masyarakat—sesuai dengan konsep-konsep islam—yaitu menjadi lebih egalitarian.

Egaliter bisa kita pahami sebagai kesetaraan atau persamaaan derajat. Egaliterian merupakan sebuah sistem sosial yang selalu dituntut oleh masyarakat marginal. Dengan adanya produk dari pendidikan islam yang mampu membentuk tatanan sosial yang egaliter tersebut, pendidikan islam dengan segala konsekuensinya akan ditunggu-tunggu perannya oleh mereka para kaum papa, kaum mustad’afin, kaum ploretar maupun oleh manusia secara keseluruhan—yang masih menginginkan adanya peradaban humanis.

Dalam sejarah, pendidikan islam pernah menemukan tajinya (ruang aksiologinya). Mislanya, dengan adanya peradaban Eropa yang dikatakan sebagai peradaban maju dan terpencerahkan disebut-sebut sebagai hasil dari proses pendidikan islam. Dalam sejarah peradaban islam, banyak pelajar-pelajar Eropa di masa Dinasti Abasiah menemukan pencerahan dari para tokoh-tokoh islam. Pada masa ini, islam tengah mengalami masa kejayaan dikarenakan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga banyak muncul ilmuwan-ilmuwan yang luar biasa pada zaman ini, seperti Ibnu Sina, Al Farabi dan lain-lainnya. Dengan pencerahan yang didapatkan dari para pendidik islam (tokoh-tokoh), orang-orang Eropa nalar berpikirnya menjadi terbuka.

Salah satu efek dari terbukanya nalar berpikir orang Eropa tersebut adalah hadirnya renaisans di tanah Eropa. Renaisans ini adalah tonggak awal peradaban Eropa yang modern dan rasional setelah sekian lama didominasi oleh gereja—abad kegelapan.

Namun, sangat disayangkan, pada perjalanan sejarahnya, ketika peradaban Eropa sedang mengalami masa jaya-jayanya, sebuah paham matrealisme radikal menghantam peradaban Eropa. Paham ini cenderung menghilangkan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan manusia, sehingga nilai religiusitas masyarakat Eropa berkuang bahkan hilang. Dengan adanya fakta tersebut, peradaban Eropa akhrinya diindentikkan dengan ateisme dan sekuler. Namun, sebagaimana diketahui bahwa; peradaban Eropa telah membawa pengaruh yang luar biasa bagi proses kehidupan manusia sekarang. Dengan adanya renaisans misalnya, mampu mengantarkan revolusi industri pada negara-negara Eropa. Prancis dan Inggris adalah negara yang memprakarsai perubahan tersebut. Tehnologi juga mengalami kemajuan yang sangat pesat, seperti; muncul sepeda motor, mobil, pesawat, handphone, komputer dan lain-lain yang mampu mempermudah kerja manusia.

Kemajuan yang diawali oleh renaisan tersebut, pada akhirnya menembus batas-batas ruang dan waktu. Proses inilah yang disebut dengan globalisasi, yaitu sebuah proses masuknya budaya-budaya baru yang mampu menggerus komponen dari budaya lokal (lama) yang dimiliki oleh beberapa negara, termasuk Indonesia yang sudah kemasukan arus globalisasi, sehingga banyak kemudian kebudayaan tercerabut dari akarnya.

Posisi pendidikan islam dengan adanya proses globalisasi ini menjadi dipertanyakan lagi aspek aksiologisnya. Kendati, setelah banyak mengalami transformasi terhadap model dan konsep pendidikan, sisi aksiologisnya masih terus dan terus dipertanyakan, terutama untuk menanamkan nilai-nilai islam yang egaliter. Sebagaimana diketahui, dengan adanya globalisasi, dunia semakin amburadul dan tidak terkontrol oleh moralitas manusia. Misalnya banyak muncul ketimpangan-ketimpangan seperti pencurian, penipuan, perdagangan anak (cyber crime), terorisme, diskriminasi terhadap perempuan dan sebagainya. Egalitaranisme sebagai sebuah produk yang dihasilkan oleh pendidikan islam merupakan suatu nilai yang bisa dijadikan sebagai solusi atas ketimpangan-ketimpangan yang terjadi. Kendati tidak bisa ditanamkan kepada sebuah peradaban dunia secara holistik, namun jika nilai ini mampu menyentuh ruang-ruang atau fragmen-fragmen ketimpangan seperti diskriminasi perempuan, misalnya, akan mampu menjadi nilai tawar yang baik untuk memperbaiki ketimpangan sosial tersebut. Begitu seterusnya, sampai kepada beberapa aspek-aspek dari peradaban menjadi teratasi dari ketimpangan-ketimpangan yang ada.

Konsep egalitarianisme ini sangat cocok dengan zaman sekarang yang bisa dikatakan sama dengan model peradaban masyarakat era dulu—masyarakatnya amoral. Seperti kehadiran islam pada masyarakat jahiliyah dulu yang mampu merubah tatanan sosial yang ada. Contoh dari konsep ideal dari egalitrianisme ini bisa kita ambil dari sejarah Nabi Muhammad, baik di Mekkah maupun Madinah. Dengan dasar tauhid dan berbuat baik, prosesi penanaman egalitarianisme zaman nabi menjadi bisa dilihat perannya dengan jelas. Adapun salah satu surat yang bisa kita jadikan dalil untuk ini adalah surat Al-Ikhlas ayat 1-4. Ayat-ayat ini sangat egalitarian, namun untuk memahaminya harus dikawinkan dengan historisitas islam, supaya mampu menemukan seberapa skala egalitarianismenya. Begitulah kiranya, bahwa pendidikan islam yang berusaha menanamkan konsep egalitarianisme pada masyarakat zaman sekarang harus diusahakan dengan semaksimal mungkin, supaya peradaban manusia secara umum maupun khusus tidak ternodai oleh efek buruk globalisasi dan modernisasi yang cenderung membawa pada posisi amoral. Namun tentunya, harus mampu mengambil sisi baik dari modernisasi supaya dapat menjadi senjata untuk menuju peradaban yang lebih baik lagi.