Oleh: Shohibul Adib, S.Ag., M.S.I
A. Pendahuluan
Sanad dan matn adalah dua komponen pembentuk bangunan hadis yang menduduki posisi penting dalam khazanah penelitian hadis. Sebab, tujuan akhir dari penelitian hadis adalah untuk memperoleh validitas sebuah matn hadis.
Dalam perkembangannya, kajian hadis yang dilakukan oleh para ulama cenderung menitikberatkan pada kajian kritik sanad hadis (al-naqd al-hadis) dari pada studi kritik matn (al-naqd al-matn). Hal ini sangat bertolak belakang dengan kajian hadis pada periode sahabat, di mana para sahabat lebih menekankan pada kajian matn hadis. Meskipun demikian, penekanan para ulama pada kajian sanad lebih dikarenakan pada masa awal Islam banyak kasus pemalsuan hadis. Dengan demikian, sanad yang mencoba menelusuri rangkaian periwayat dijadikan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kasus pemalsuan hadis tersebut.
Tepat pada tahun 1917 M di Mesir, daerah al-Bahirah Ghazali dilahirkan. Ghazali kecil dibesarkan dalam tradisi keluarga yang taat beragama, karenanya sejak kecil ia dimasukkan pada lembaga pendidikan yang khusus mengajarkan hafalan al-Qur’an dan pada usianya yang kesepuluh ia sudah menghafal al-Qur’an. Setelah menamatkan pendidikan tingkat menengah dan atas, pada tahun 1937 Ghazali mengambil studi di Universitas al-Azhar Kairo. Pada tahun 1941 ia berhasil meraih gelar sarjana pada Fakultas Ushuluddin. Dua tahun kemudian ia memperoleh gelar Magister pada Fakultas Bahasa Arab. Pada tahun 1996 Ghazali meninggal dunia ketika ia di Saudi Arabia untuk menghadiri seminar tentang Islam dan Barat.
1. Pengertian Hadis
Ghazali sebagai salah satu dari sekian banyak generasi ulama, sudah tentu memiliki pandangan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan hadis dan sunah. Meskipun demikian, pandangan dan pengertian yang dilontarkannya bukanlah hal yang baru, melainkan tetap dalam bingkai pengertian hadis dari analisanya terhadap beragam pengertian yang telah dikemukakan oleh para ulama sebelumnya.
Hadis jika dilihat dari segi jumlah periwayatnya, ia dibagi menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan hadis ahad . Pembagian ini menjadi urgen jika dikaitkan dengan kedudukan dan fungsi hadis sebagai salah satu sumber hujjah dan hukum Islam. Para pakar Islam sepakat bahwa hadis mutawatir membawa berita yang pasti kebenaannya sejajar dengan kebenaran yang terdapat dalam al-Qur’an. Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang yang menolak hadis kategori ini sama halnya ia menolak al-Qur’an.
1. Kriteria Kesahihan Sanad hadis
Menurut Ghazali, kaedah kesahihan sanad hadis terdiri dari dua syarat, yakni: pertama, setiap rawai dalam sanad suatu hadis haruslah seorang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas, teliti, dan benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian, setelah ia meriwayatkannya, tepat seperti aslinya. Dalam konteks ini, perawi disebut dhabit. Kedua, di samping kecerdasan yang dimiliki perawi, ia juga harus mantap kepribadiannya, bertakwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan. Dalam konteks ini, perawi disebut ‘adil.
Adapun terkait dengan syaz dan ‘illah, Ghazali berpendapat bahwa hal ini merupakan syarat kesahihan matn. Selain itu, Ghazali tidak mensyaratkan adanya ketersambungan sanad sebagai ukuran kesahihan sanad hadis. Pendapatnya ini berbeda dengan pendapat para muhaddisin. Menurut mereka, ketersambungan sanad mutlak diperlukan. Sebab, mana mungkin suatu berita dapat dipercaya manakala ia tidak jelas asal-usulnya terlebih lagi berita itu disandarkan kepada nabi. Oleh karena itu, sanad ada yang terputus, baik mursal (termasuk murasal sahabi), munqati’ (hadis yang sanadnya terdapat salah seorang yang digugurkan atau tidak disebutkan namanya, baik diujung atau dipangkal sanad), maupun mu’dal (hadis yang di dalam sanadnya terdapat dua orang periwayat atau yang lebih secara berturut-turut tidak disebut namanya atau digugurkan), menurut muhaddisin hal tersebut menyebabkan suatu hadis menjadi dha’if.
Pada prinsipnya, terkait dengan masalah kesahihan matn hadis Ghazali tidak pernah secara eksplisit mensistematisasi berbagai tolok ukur yang mesti diberlakukan dalam menilai sahih tidaknya suatu matn hadis. Meskipun demikian, dari berbagai karyanya, dapat dirumuskan mengenai kriteria matn hadis, yakni: matn hadis sesuai dengan al-Qur’an, matn hadis sejalan dengan matn hadis sahih lainnya, matn hadis sesuai dengan fakta sejarah, redaksi matn hadis menggunakan bahasa Arab yang baik, kandungan matn hadis sesuai dengan prinsip-prinsip umum ajaran Islam, matn hadis tidak bersifat syaz, hadis tersebut harus bersifat ‘illah qadihah (cacat yang diketahui oleh para ahli hadis).
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَابِقٍ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَسَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ لِلْفَرَسِ سَهْمَيْنِ وَلِلرَّاجِلِ سَهْمًا قَالَ فَسَّرَهُ نَافِعٌ فَقَالَ إِذَا كَانَ مَعَ الرَّجُلِ فَرَسٌ فَلَهُ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ فَرَسٌ فَلَهُ سَهْمٌRasulullah membagi-bagi rampasan perang khaibar, dua bagian untuk tiap ekor kuda dan satu bagian untuk pejuang yang berjalan kaki.
Ghazali dalam hal ini mengakui bahwa banyak sekali hadis tentang jihad dan wajib hukumnya. Namun, menurutnya tidak ada aturan yang baku dan permanen terkait dengan hal-hal yang melingkupi masalah jihad, seperti: masalah alat peperangan, cara-cara atau siasat (al-harb al-khud’ah), imbalan perang, dan pelaksanaan teknis lainnya. Misal, ketika alat-alat persenjataan telah berubah, maka hukum-hukum mengenai jihad juga berubah. Dengan alasan ini, Ghazali banyak “meninggalkan” hadis jihad, meskipun kualitas hadis itu sahih. Demikian juga saat ini sudah tidak berlaku lagi prinsip “barang siapa membunuh seorang musuh, maka ia berhak mengambil perlengkapan perang yang dimilikinya. Sebagai gantinya, negara dapat memberikan hadiah atau imbalan khusus bagi para pejuang yang sangat berjasa.
Sementara itu, terkait dengan matn hadis yang harus sesuai dengan fakta sejarah Ghazali mengambil beberapa hadis sebagai contoh, antara lain: hadis tentang surban.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ عَلِيٍّ وَعُمَرَ وَابْنِ حُرَيْثٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَرُكَانَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ جَابِرٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Menurut Ghazali pakaian surban adalah pakaian bangsa Arab, bukan lambang keislaman. Hal ini sebagai bukti sejarah yang tidak dapat dibantah. Sebab, Abu Jahal juga bersurban. Masyarakat Arab bersurban bukan karena Islam, melainkan karena faktor iklim yang panas, sehingga mengharuskan mereka menutup kepala.
Metode dan pendekatan dalam memahami hadis sudah sejak lama ada dalam tradisi Islam, pada masa sahabat biasanya langsung ditanyakan kepada nabi selaku sumber primer. Namun, keadaan ini segera berubah ketika nabi sudah tiada. Kemudian pada periode sahabat diketahui bahwa merupakan para sahabat nabi menjadkan teks al-Qur’an dan hadis sebagai fondasi fatwa keagamaan. Setelah masa sahabat Islam mulai berkembang, maka lahirlah beberapa kelompok yang memiliki perbedaan dalam hal corak dan gaya berfikir ketika memahami ajaran Islam yang bersumber pada teks agama.
Terkait dengan dua kelompok ini, maka Ghazali berada pada kelompok kedua. Hal ini ampak ketika ia menggunakan rasionalitas dalam memahami teks hadis, di mana ia selalu berusaha melihat kembali pada fakta-fakta sejarah yang berada dibalik suatu riwayat. Hal ini dilakukan Ghazali dengan mempertimbangkan faktor historis, sosiologis, dan antropologis.
1. Ghazali lebih menekankan kajian matn dari pada kajian sanad hadis. Bahkan hadis yang secara sanad berstatus do’if masih dapat digunkaan sebagai dasar fatwa ketika matn hadis tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan ajaran Islam. Adapun kaedah kesahihan matn hadis Ghazali adalah: sesuai dengan al-Qur’an, matn hadis sejalan dengan matn hadis sahih lainnya, matn hadis sesuai dengan fakta sejarah, redaksi matn hadis menggunakan bahasa Arab yang baik, kandungan matn hadis sesuai dengan prinsip-prinsip umum ajaran Islam, matn hadis tidak bersifat syaz, hadis tersebut harus bersifat ‘illah qadihah (cacat yang diketahui oleh para ahli hadis.
2. Pada pokoknya, metode yang digunakan Ghazali dalam memahami hadis adalah metode sintesis, yakni metode pemahaman hadis yang mencoba memadukan antara keyakinan terhadap kedudukan hadis yang dipercayai sebagai sumber otoritatif dalam ajaran Islam dengan prinsip-prinsip ilmiah yang berasal dari penalaran rasionalitas manusia. Dengan kata lain, Ghazali mengemas sistem pemahaman hadis dari ketentuan normatif teologis, kemudian mengkaitkan dengan الما حول النّصية meliputi antara lain aspek bahasa, kenyataan setting sosio-historis, dan antropologis yang timbul dalam bentangan sejarah kehidupan umat manusia. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah al-‘Aqil, “Al-Daiyat al-Mujaddid al-Syekh Muhammad Ghazali” dalam Al-Mujtama’.
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1998.
Al-Bukhari, Sahih Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
__________, “Sahih al-Bukhāri”, dalam CD Maktabah al-Syamilah www.waqfeya.net/shamela.
Al-Hakim al-Naisaburi, Kitab Ma’rifah al-‘Ulum al-Hadis, Madinah: Yatlub min al-Maktabah al-‘Ilmiyyah,1977.
Al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Daniel W. Brown, “Sunnah and Islamic Revivalisme”, dalam Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, New York: Cambridge University Press, 1996.
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1985.
Muhammad al-Ghazali, Al-Islam wa al-Ausa’ al-Iqtisadiyah, Kairo: Dar al-Kutub, t.t.
__________, Al-Sunnah al-Nabawiyah bayn ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis, Kairo: Dar al-Syuruq, 1996.
__________, Dustur al-Wahdah al-Saqafiyyah Bayn al-Muslimin, Damaskus: Dar al-Qalam, 1996.
__________, Fiqh al-Sirah, Kairo: Dar al-Kutub, t.t.
__________, Laysa min al-Islam, terj. Muammal Hamidi, Bukan dari Ajaran Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1994.
__________, Mi’ah Sual ‘an Islam, terj. Mohamad Tohir, Menjawab Soal Islam Abad 20, Bandung: Mizan, 1991.
M. Quraish Shihab, “Studi Kritis atas Hadis Nabi Muhammad saw. antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual”, dalam Kata Pengantar, Bandung: Mizan, 1992.
MM. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, terj. Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq, Yogyakarta: 1996.
Muh Zuhri, Telaah Matan Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis, Yogyakarta: LESFI, 2003.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usūl al-Hadis; ‘Ulūmuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dār al-‘Ilmu li al-Malayin, 1977.
Muhammad al-Shabbagh, Al-Hadis al-Nabawiy, T.tp: al-Maktabah al-Islami, 1972.
Nasa’i, Sunan an-Nasa’i, Beirut: Dar al-Fikr, 1898.
Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Philosophy, terj. M. Amin Abdullah, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1989.
Salman al-Audah, Fi Hiwar Hadi ma’a Muhammad Al-Ghazali, T.tp: Rasasah Ammah li Idharah al-Buhus al-‘Ilmiyyah, t.t
Subhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmu li al-Malayin, 1977.
Ismail. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 113-118. Syuhudi Ismail, Metodologi penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 67.
Yusuf Qaradhawi, Kaifa Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah, T.tp: al-Mansurah, 1990.