Merevitalisasi Gagasan Pluralisme Agama Gus Dur Sebagai Upaya Mewujudkan Kebhinekaan yang Harmonis

Merevitalisasi Gagasan Pluralisme Agama Gus Dur Sebagai Upaya Mewujudkan Kebhinekaan yang Harmonis

Oleh: Isniyatul Khumayah[1]

Pengantar

            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Moderat diartikan selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrim, berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah. Secara Etimologi: menghindarkan pengungkapan atau perilaku yang ekstrim. Dalam bidang politik, orang yang berpikiran atau berpendapat moderat adalah orang yang mempunyai pikiran tidak ekstrim sehingga orang tersebut bisa diterima oleh banyak orang.[2] Dalam pandangan Islam (Khaleed Abu Al-Fadhl) moderat adalah seorang muslim yang tidak memperlakukan agama mereka laksana monumen yang beku, namun memperlakukannya lebih ke dalam suatu kerangka iman yang aktif dan dinamis. Sehingga seorang muslim moderat akan sangat menghargai berbagai macam pencapaian yang diperoleh dari sesama muslim di masa lalu, namun mereka juga hidup di zaman sekarang.

Mengamati pemikiran Abdurrahman Wahid[3] memang menarik sekaligus menyulitkan. Menarik karena ide-idenya selalu sederhana namun mampu memberikan wawasan tersendiri dalam menganalisis persoalan, baik di Indonesia maupun dunia. Menyulitkan karena pemikirannya terkadang keluar dari kultur yang membesarkannya (NU dan Pesantren). Berbagai artikel dan tulisan Gus Dur menghimpun pemikirannya tentang perdamaian Indonesia. Bahkan Gus Dur juga disebut sebagai Bapak Pluralisme. Hal demikian juga banyak ditemukan di meme-meme, seperti pernyataannya “Saya tidak peduli, mau popularitas saya hancur, difitnah, dicaci-maki atau dituduh apapun, tapi bangsa dan negara ini harus diselamatkan dari perpecahan”. Dengan pendekatan sejarah, penelitian ini menguak peran dan kontribusi Gus Dur dalam merajut kebhinekaan dan mewujudkan perdamaian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Biografi

            Gus Dur lahir pada 7 September 1940 dan (w. 30 Desember 2009) di Denanyar dekat Kota Jombang, Jawa Timur, di rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri dengan nama Abdurrahman Wahid. Gus Dur terlahir dari kedua orang tua yang bernama K.H. Wahid Hasyim yang tak lain adalah putra dari K.H. Hasyim Asy’ari dan Ibunya Ny. Hj. Solihah putri dari K.H. Bisri Syansuri.

Kedua kakek Gus Dur, Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Hasyim Asy’ari sangat dihormati di kalangan NU, baik karena peran mereka dalam mendirikan NU maupun karena posisi mereka sebagai ulama. Berbeda dengan yang biasa terjadi pada kaum ulama tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari, dan terlebih lagi puteranya, Kiai Wahid Hasyim, yang menjadi menteri agama pada era pemerintahan Soekarno, juga dihormati oleh masyarakat menengah kota oleh karena kedekatannya dengan gerakan nasionalis yang memimpin perjuangan revolusioner melawan penjajah Belanda setelah akhir Perang Dunia II. Oleh karena itu, kedua orang ini secara resmi dikenang sebagai Pahlawan Nasional. Nama mereka, sebagaimana juga nama pahlawan yang lainnya, diabadikan sebagai nama-nama jalan di Jakarta Pusat.[4]

 

  1. Masa Pendidikan

Gus Dur pindah ke Jakarta pada tahun 1949 mengikuti ayahnya yang menjabat sebagai Menteri Agama pertama. Gus Dur masuk sekolah di SD Matraman Perwari, kemudian memilih tetap terus untuk tinggal di Jakarta meskipun pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak lagi menjabat sebagai menteri agama. Sejak awal masuk SD, Gus Dur sudah diajarkan dan diarahkan untuk membaca buku-buku umum. Ayahnya tentu ingin supaya Gus Dur memiliki pengetahuan dan pandangan yang luas tentang hidup. Tidak sebatas seputar ilmu yang terdapat di dalam kitab kuning. Sampai pada akhirnya hari yang menyedihkan tiba, pada bulan April 1953 ayah Gus Dur meninggal dunia oleh karena kecelakaan mobil dalam perjalanannya antara Bandung-Cimahi Jawa Barat.

Setahun setelah ayahnya meninggal, yakni pada 1954, Gus Dur meneruskan pendidikan ke jenjang SMP. Sayangnya, dia tidak naik kelas, namun hal ini bukan karena alasan akademik. Kemudian ibunya mengirim Gus Dur untuk masuk ke pesantren sembari melanjutkan studi SMPnya di Yogyakarta. Dia belajar di Pondok Pesantren Krapyak pimpinan K.H. Ali Maksum.

Gus Dur lulus SMP pada tahun 1957. Selanjutnya dia meneruskan pindah ke Magelang untuk menimba ilmu di Pondok Pesantren Tegalrejo. Dua tahun kemudian, Gus Dur sudah mampu menyelesaikan pendidikannya. Pada taraf ini Gus Dur mulai menampakkan kecerdasannya, karena biasanya pendidikan di pesantren ini harus ditempuh selama empat tahun.

Lalu, di tahun 1959 Gus Dur melanjutkan studinya ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Selain terus menuntut ilmu, dia juga mulai mengabdi sebagai pengajar. Kemudian berlanjut menjadi kepala sekolah di madrasah. Di samping itu, dia juga mulai memperlihatkan kemampuan menulisnya. Tercatat dia mulai menulis sebagai jurnalis di harian Majalah Budaya Jaya dan Horizon.

Pada tahun 1963 Gus Dur mulai menempuh pendidikan di luar negeri. Gus Dur menerima beasiswa dari Kementerian Agama dan di kirim untuk belajar di Kairo Mesir pada Universitas Al-Azhar. Selanjutnya, dia pindah ke Irak untuk belajar di Universitas Baghdad pada tahun 1966. Di sana, dia aktif di organisasi Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga aktif menulis di majalah Asosiasi Pelajar tersebut.

Setelah selesai di Universitas Baghdad, Gus Dur banyak berkeliling ke beberapa negara di antaranya ke Belanda, Jerman dan Perancis sebelum berikutnya dia kembali ke Indonesia pada tahun 1970. Selanjutnya Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dari pernikahannya dia dikaruniai empat orang putri, yaitu: Alissa Qotrunnada, Zanuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid), Anita Hayatunnufus dan Inayah Wulandari.

 

  1. Masa Karir

Setelah kembali dari luar negeri, Gus Dur mulai meniti karirnya dengan bergabung bersama Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Dengan kemampuan menulisnya yang baik, dia juga meneruskan untuk menulis dan mengirim tulisannya ke beberapa surat kabar yang ada saat itu. Ternyata hal tersebuut membuat namanya terkenal, sehingga membuat dirinya menerima banyak tawaran untuk mengisi acara-acara seperti diskusi maupun seminar dari Jakarta. Hingga dia harus bolak-balik antara Jombang-Jakarta.

Kemudian pada tahun 1977 Gus Dur bergabung dengan Universitas Wahid Hasyim Asy’ari. Dia menjabat sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan. Namun, sebelum itu, ykani tahun 1974 hingga 1977 Gus Dur sempat mengalami kesulitan finansial sehingga harus berjualan es dan kacang.

Pada tahun 1982 Gus Dur terjun langsung dalam ranah kancah politik. Dia ikut berkampanye bersama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP sendiri merupakan partai gabungan dari empat partai Islam termasuk di dalamnya Nahdlatul Ulama (NU).

Pada sidang MPR pada tanggal 20 Oktober 1999, Gus Dur terpilih sebagai presiden Republik Indonesia yang ke empat untuk menggantikan B.J. Habibie. Gus Dur mendapatkan 373 suara dan mengalahkan Megawati Sukarnoputri yang mendapatkan 313 suara.

Pada tanggal 23 Juli 2001, MPR melakukan sidang istimewa dan memakzulkan kepresidenan Gus Dur, lalu MPR menunju Megawati sebagai penggantinya. Pada tanggal 25 Juli 2001 Gus Dur harus berangkat ke Amerika Serikat karena kendala kesehatannya. Gus Dur menderita beberapa penyakit, antara lain: stroke, diabetes dan gangguan ginjal. Sampai pada akhirnya pada tanggal 30 Desember 2009 pukul 18.45 WIB Gus Dur meninggal dunia di  Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Lalu Gus Dur dimakamkan di Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.

 

Karya-Karya Gus Dur

  1. Abdurrahman Wahid secara kelembagaan tidak pernah mendapatkan ijazah kesarjanaan namun Ia seorang yang cerdas, progresif dan cemerlang ide-idenya. Tetapi Ia telah membuktikan bahwa Ia adalah seorang yang cerdas lewat idenya yang cemerlang dan kepiaweannya dalam berbahasa dan retorika serta tulisan-tulusannya di berbagai media massa, majalah, esai, dan kegiatan-kegiatan seminar, sarasehan serta bukubuku yang telah diterbitkan antara lain:[5]
  2. Bunga Rampai Pesantren (Darma Bhakti, 1979)
  3. Muslim di Tengah Pergumulan (Leppenas, 1981)
  4. Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (Yogyakarta: LkiS, 1997)
  5. Tabayyun Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 1998)
  6. Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: Lkis, 1999)
  7. Islam, Negara, dan Demokrasi: Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur (Erlangga, 1999)
  8. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (Kompas, 1999)
  9. Membangun Demokrasi (Remaja Rosda Karya, 1999)
  10. Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Grasindo, 1999)
  11. Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2000)
  12. Melawan Melalui Lelucon (Tempo, 2000)
  13. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Desantara, 2001)
  14. Menggerakkan Tradisi (LKiS, 2001)
  15. Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (LKiS, 2002) 15. Gus Dur Bertutur (Proaksi, 2005) 16. Islamku, Islam Anda, Islam Kita (The Wahid Institute, 2006) 17. Islam Kosmopolitan (The Wahid Institute, 2007)

Dalam banyak tulisannya, Gus Dur selalu menjadi penulis yang komunikatif. Gus Dur mampu membangun hubungan antara penulis dan pembaca menjadi lebih hidup. Salah satunya, dalam setiap tulisannya, Gus Dur selalu mengakhiri dengan kalimat pertanyaan, bukan sekedar kesimpulan.

 

Penghargaan yang Diperoleh Gus Dur

  1. Abdurrahman Wahid merupakan satu-satunya pemimpin NU yang diakui dunia, baik wawasan keilmuannya, kepeduliannya kepada masalah demokrasi dan toleransi. Serta besarnya pengaruh politik yang dimilikinya. Penghargaan yang pernah diperolehnya antara lain:[6]
  2. Pada tahun 1993, KH. Abdurrahman Wahid menerima penghargaan Ramon Magsay Award, sebuah “Nobel Asia” dari pemerintah Filipina. Penghargaan ini diberikan karena KH. Abdurrahman Wahid dinilai berhasil membangun landasan yang kokoh bagi toleransi umat beragama, pembangun ekonomi yang adil, dan tegaknya domokrasi di Indonesia.
  3. Pada akhir tahun 1994, KH. Abdurrahman Wahid juga terpilih sebagai salah satu seorang presiden WCRP (Werld Council for Religion and Peace atau Dewan Dunia untuk Agama dan Perdamaian).
  4. Pada tahun 1996 dan 1997, majalah Asiaweek memasukkan KH. Abdurrahman Wahid dalam daftar orang terkuat di Asia. KH. Abdurrahman Wahid menjadi pemimpin besar dan diakui karena pemikirannya dan gerakan sosial yang dibangunnya mempunyai dampak yang kuat terhadap demokrasi, keadilan, dan toleransi keagamaan di Indonesia.
  5. Ia mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM di Israel, karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli dalam persoalan HAM.
  6. Gus Dur disebut sebagai “Bapak Pluralisme” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang Di Klenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok pada tanggal 10 Maret 2004.
  7. Pada tanggal 11 Agustus 2006, GadisArivia dan KH. Abdurrahman Wahid mendapat tasrif Award-AJI sebagai pejuang kebebasan Pers 2006. KH. Abdurrhman Wahid dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi, persamaan hak, semangat keberagamaan, dn demokrasi di Indonesia.
  8. Abdurrahman Wahid memperoleh penghargaan dari Mebel Valor yang berkantor di Los Angeles karena KH. Abdurrahman Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas.
  9. Ia juga memperoleh penghargaan dari universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi KH. Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Studies.

Dari beberapa penghargaan yang diperoleh KH. Abdurrahman Wahid di atas yang diraihnya di dalam maupun di luar negeri  menunjukkan bahwa  kapasitas beliau sebagai seorang cendekiawan, aktivis kemanusiaan, dan tokoh pro demokrasi tidak dapat diragukan lagi.  Selain itu, KH. Abdurrahman Wahid memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Cause) dari beberapa Perguruan Tinggi ternama di berbagai negara antara lain:

  1. Doktor Kehormatan bidang hukum dari Netanya University, Israel (2003)
  2. Doktor Kehormatan bidang hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003) 3. Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
  3. Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
  4. Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
  5. Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Soeborne University, Paris, Perancis (2000)
  6. Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
  7. Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
  8. Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000).[7]

Pluralisme Agama

            Pemikiran Pluralisme muncul pada masa yang disebut dengan pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 M, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bengkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa ynag diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan agama. Di tengah hiruk pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah sebuah paham yang kemudian disebut dengan “liberalisme”, yang komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme. Oleh karena paham liberalisme pada awalnya muncul sebagai madzhab sosial politis, maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik.[8]

Secara umum, sebab-sebab lahirnya teori pluralisme dapat diklasifikasikan dalam dua faktor utama yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internalya tak lain adalah keyakinan dan absolutisme dan kemutlakan tersebut berlaku dalam hal akidah dan ideologi (baik yang berasal dari wahyu Allah ataupun sumber lainnya). Kenyataan tersebut hampir tidak satupun yang mempertanyakannya, hingga datangnya era modern dimana faham relativitas agama mulai dikenal dan menyebar secara luas di kalangan para pemikir dan intelektual, khususnya pada abad ke-20.

Sedangkan faktor eksternalnya, yang pertama dari segi sosio-politis yakni berkembangnya wacana-wacana sosio-politis, demokratis dan nasionalisme yang telah melahirkan sistem negara-bangsa dan kemudian mengarah pada apa yang disebut dengan globalisasi, yang merupakan hasil praktisi dari sebuah proses sosial dan politis yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad. Proses tersebut bermula sejak pemikiran manusia mengenal liberalisme yang menerompetkan irama-iarama kebebasan, toleransi, kesamaan dan pluralisme. Sedangkan dari segi keilmuan yakni maraknya studi-studi ilmiah modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering dikenal dengan studi perbandingan agama.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya), berbagai kebudayaan yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat.[9] Sedangkan pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlainan pula.[10]

Pluralisme dalam bahasa Arab diterjemahkan al-ta’addudiyyah, secara bahasa berasal dari kata plural yang berarti jamak, maksudnya ada keanekaragaman dalam masyarakat, yakni ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Pluralisme adalah sebuah “isim” atau aliran tentang pluralitas.[11]

Menurut Alwi Shihab, pengertian konsep pluralisme dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan namun yang dimaksud dengan pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dimana-mana, tapi seseorang dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut.

Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme, kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas dimana aneka ragam, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berfikir seorang atau masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari paham tersebut adalah agama apapun harus dinyatakan benar, atau tegasnya semua agama adalah sama. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru denga memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama tersebut.[12]

Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleran kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan sebagai bagian dari keberagaman. Dalam dunia Kristen, pluralisme agama pada beberapa dekade terakhir diprakarsai oleh John Hick. Dalam hal tersebut, dia mengatakan bahwa menurut pandangan fenomenologis, terminologi pluralisme agama arti sederhananya ialah realitas bahwa sejarah agama-agama menunjukkan berbagai tradisi serta kemajemukan yang timbul dari cabang masing-masing agama. Dari sudut pandang filsafat, istilah tersebut menyoroti sebuah teori khusus mengenai hubungan antar tradisi dengan berbagai klaim dan rival mereka. Istilah tersebut mengandung arti berupa teori bahwa agama-agama besar dunia adalah pembentuk aneka ragam persepsi yang berbeda mengenai satu puncak hakikat yang misterius.

Dapat diartikan juga bahwa pluralisme merupakan suatu sikap saling mengerti, memahami, dan menghormati adanya perbedaan-perbedaan demi tercapainya kerukunan antar umat beragama. Dan dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama tersebut, umat beragama diharapkan masih memiliki komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing.

 

Dasar Pemikiran Pluralisme Gus Dur

            Ideologi pluralisme yang dibawa Gus Dur dan penghormatannya terhadap pluralitas sepenuhnya berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam dan juga tradisi keilmuan NU sendiri.

Pertama, prinsip pluralisme secara tegas diakui di dalam kitab suci. Al-Qur’an mendeklarasikan secara tegas bahwa pluralitas msyarakat dari segi agama, etnis, warna kulit, bangsa dan sebagainya merupakan keharusan sejarah yang telah menjadi sunnatullah. Oleh karenanya, upaya penyeragaman dan berbagai bentuk hegemonisasi yang termasuk dalam hal pemahaman dan implementasi ajaran agama, merupakan sesuatu yang bertentangan dengan semangat dasar al-Qur’an. Pluralitas agama dan masyarakat menjadi alat uji parameter kualitas keberagaman umat.

Kedua, nalar keragaman NU sepenuhnya dibangun  di atas spirit pluralisme. NU mengikuti tradisi pemikiran madzhab yang menjadi pilar tegaknya peradaban fiqih. Ajaran Islam digali langsug dari sumbernya, tetapi melalui pemikiran, NU terhindar dari pendekatan tekstual dan interpretasi tunggal terhadap al-Qur’an dan hadits. Fiqih dirumuskan sebagai hukum atau kumpulan hukum yang ditarik dari dalil-dalil syar’i, yaitu al-Qur’an dan hadits. Definisi tersebut menurut Gus Dur secara jelas menampakkan adanya proses untuk memahami situasi yang disitu ayat al-Qur’an dan hadits memperoleh pengolahan untuk kemudin disimpulkan berdasarkan kebutuhan manusia.[13] Disini  nyata terlihat bahwa pluralisme yang dikembangkan Gus Dur adalah revitalisasi dari ajaran Islam dan tradisi berpikir pesantren yang sudah berkembang berabad-abad.

Dalam membidik pemikiran Gus Dur, penulis berkesimpulan bahwa Gus Dur lebih mementingkan pemahaman Ma haula al-Nas (around the Text), bukannya berhenti pada Ma fii al-Nas (in the Text). Hal ini tercermin dari religious experiences Gus Dur yang senantiasa memahami teks keagamaan lengkap dengan setting sosial politik yang melingkupinya. Pada saat yang sama, Gus Dur juga nampak tidak mau terjebak pada verbalitas dan regiditas teks. Dia malah berproses secara berkesinambungan dengan teks-teks yang dinamis.[14]

Sikap pluralisme agama yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur tidak sekedar menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari agama yang berbeda, tetapi juga disertai kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran yang baik dari agama lain, hal demikian pun tercermin dalam tulisanya pada buku Islam Kosmopolitan, yang berjudul Intelektual di Tengah Eksklusifisme, Gus Dur pernah mengatakan: “Saya membaca, menguasai, menerapkan al-Qur’an, al-Hadits, dan kitab-kitab Kuning tidak dikhususkan bagi orang Islam. Saya bersedia memakai yang manapun asal benar dan cocok sesuai hati nurani. Saya tidak mempedulikan apakah kutipan dari Injil, Bhagawad Gita, kalau benar kita terima. Dalam masalah bangsa, ayat al-Qur’an kita pakai secara fungsional, bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam persoalan mendasar. Tetapi aplikasi adalah soal penafsiran. Berbicara penafsiran berarti bukan  lagi masalah teologis, melainkan sudah menjadi masalah pemikiran”[15]

 

Gagasan Pluralisme Agama Gus Dur

            Masyarakat Indonesia yang plural, dengan ragam budaya, suku, etnis dan agama serta idiologi merupakan kekayaan tersendiri. Oleh karena itu, keragaman agama, etnis, idiologi ataupun budaya membutuhkan sikap arif dan kedewasaan berpikir dari berbagai lapisan masyarakat, tanpa memandang agama, warna kulit, status sosial dan etnis. Tanpa ada sikap saling curiga dan berprasangka buruk terhadap kelompok lain, kita sebagai bangsa sudah terlanjur majemuk dan konsekuensinya adalah adanya penghormatan atas pluralitas masyarakat itu.

Seperti yang dikatakan oleh Munawir Aziz dalam artikelnya, bahwa Gus Dur adalah teks yang tidak pernah selesai dibaca. Gus Dur merumuskan hampir segala hal konsep hidup manusia. Lebih hebatnya, pernyataannya selalu mengandung multi tafsir. Hingga suatu hari, beberapa pelajar ditugaskan untuk memberikan pernyataan atas Gus Dur. Dari sekian banyak pelajar, tak disangka, salah satu pelajar mengatakan bahwa Gus Dur adalah manusia yang tidak terdefinisi. Gagasannya banyak berlatar belakang pada pemikiran NU, namun banyak juga yang tidak. Banyak hal yang telah dikupas oleh Gus Dur, begitu pula dengan tema Pluralisme Agama.

Latar belakang faham keislaman tradisional faham ahlussunnah wal jama’ah serta pemikirannya yang liberal, Islam menurut KH. Abdurrahman Wahid harus tampil sebagai pemersatu bangsa dan pelindung keragaman dan mampu menjawab tantangan modernitas sehingga Islam lebih inklusif, toleran, egaliter dan demokratis. Nilai Islam yang universal dan esensial lebih diutamakan dari pada legal-simbolis, Islam mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa membawa embel-embel Islam, akan tetapi ruh keislaman menyatu dalam wajah nasionalisme.

Charles Torey dalam desertasi doktornya di Universitas Heidelburg tahun 1880-an, mengemukakan bahwa al-Qur’an mempunyai keistimewaan, berupa penggunaan istilah-istilah profesi untuk menyatakan keyakinan agama. Disebutkan ayat “Barangsiapa memberikan pinjaman yang baik pada Allah, maka akan diberikan imbalan yang berlipat ganda” (Q.S. Al-Baqarah: 245), yang berarti bukan transaksi kredit melainkan pelaksanaan amal kebajikan.[16]

Torey juga menggunakan sebuah ayat lain untuk menunjuk kepada perbedaan antara Islam dan agama-agama lain, tanpa menolak klaim kebenaran agama-agama tersebut. “Barangsiapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah, dan di akhirat kelak dia akan menjadi orang yang merugi” (Q.S. Al-Imran: 85), ayat tersebut menunjuk perbedaan dalam keyakinna antar Islam dan agama-agama lain. Perbedaan antara Ialam dan agama lain, dalam ayat tersebut jelas menunjuk kepada masalah keyakinan, dengan tidak menolak kerjasama antara Islam dan berbagai agama lainnya.

Dengan demikian, perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang antar kerjasama Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hla yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama tersebut, tentunya akan dapat ditujukan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antar agama dalam kehidupan. Dengan kata lain, prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku dalam hal ini, seperti adagium ushul fiqh / teori legal hukum Islam, “sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula” (ma la yatimu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun) tidak akan terlaksana, karena itu, dialog antar agama juga menjadi kewajiban.[17]

Artinya, tidak semata-mata menerima ajaran agama lain (akidah), tetapi hal tersebut tidak menghalagi pemeluk agama yang berbeda untuk saling bekerja sama dalam hal muamalat, yakni memperbaiki nasib bersama dalam mencapai kesejahteraan materi. Antar pemeluk agama dapat bekerjasama untuk mengatur kesejahteraan materi tersebut dengan menggunakan ajaran masing-masing.

K.H. Abdurrahman Wahid mengatakan, demi tegaknya pluralisme, masyarakat bukan hanya terletak pada suatu pola hidup berdampingan secara damai, karena hal itu masih rentan terhadap munculnya kesalahpahaman antar kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan disintegrasi.[18] Gus Dur juga menyatakan bahwa masalah pokok dalam hal hubungan antar umat beragama adalah pengembangan rasa saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kata beliau, kita hanya mampu menjadi bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti satu sama lain, bukan hanya sekedar saling menghormati. Yang diperlukan adalah rasa saling memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain.[19]

 

Cara Menyikapi Pluralisme Agama

            Pluralisme bukanlah ide yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kita sendiri sama-sama mengakui bahwa setiap agama memiliki ajaran yang berbeda-beda. Namun, perbedaan tersebut bukanlah alasan menebar konflik dan perpecahan. Perbedaan justru mampu dijadikan alat untuk memahami anugerah Tuhan yang begitu nyata untuk senantiasa merajut keharmonisan dan toleransi.

Menurut Gus Dur, setidaknya ada tiga hal mendasar yang bisa dilakukan sebagai ikhtiar mengurangi berbagai bentuk ancaman terhadap kemajemukan bangsa, antara lain[20]:

  1. Penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku tindak kekerasan dan pemaksaan kehendak yang mengatasnamakan agama.
  2. Ormas-ormas keagamaan harus didorong untuk mengedepankan dialog dan kerjasama dalam berbagai bidang sosial dan kebudayaan sehingga toleransi dapat ditumbuhkan secara menyeluruh.
  3. Nilai-nilai toleransi perlu ditanamkan dan diajarkan sejak dini dan berkelanjutan kepada anak-anak mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi.

Relevansi Pemikiran Pluralisme Agama Gus Dur

  1. Indonesia Bukan Negara Islam

Bangsa Indonesia yakni bangsa majemuk yang terdiri dari bermacam-macam etnis, bahasa, suku, ras, agama dan kepercayaan yang saling berinteraksi secara harmonis. Semua warga Indonesia memiliki kesadaran berbangsa dan cinta tanah air dengan menunjukkan sikap semangat membela Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karenanya, menerapkan formalisasi, bahkan syari’atisasi maupun ideologis Islam pada Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan hal yang mustahil.

Dengan mengenal dan memahami makna pluralisme agama yang tengah diusung oleh Gus Dur, sebagai warga Negara Republik Indonesia, pastinya gagasan tersebut menjadi jawaban bagi kita menyikapi kebhinekaan bangsa Indonesia. Dalam hidup berbangsa, umat Islam pada khususnya perlu mengembangkan dialog dan kerjasama dengan umat agama lain. Dialog dan kerjasama itulah yang akan membuat umat Islam selalu mampu hidup berdampingan dengan umat lain.

  1. Mengawal Penegakan Demokrasi dan HAM

Dari berbagai buku dan artikel yang penulis baca, Gus Dur adalah sosok pemimpin yang selalu memayungi dan mengayomi segala golongan. Gus Dur melindungi dan mengayomi hak minoritas dari kesewenang-wenangan mayoritas Indonesia. Tidak sebatas pemikiran, namun langkah kongkrit. Sehingga Gus Dur layak disebut sebagai Bapak Pluralisme, Bapak Demokrasi serta Pejuang HAM.

Banyak hal yang telah dilakukan oleh Gus Dur. Salah satunya adalah selalu membela kaum minoritas. Seperti yang kita tahu, beberapa artikel tentang Gus Dur menceritakan kerja keras dan pengorbanannya saat menjadi pembela masyarakat Papua, etnis Tionghoa ataupun umat agama minoritas yang lain, serta banyak hal lagi.

  1. Solusi Bagi Kebhinekaan di Indonesia

Pada dasarnya, sebuah masyarakat yang heterogen sangat sulit untuk menumbuhkan  rasa saling pengertian yang mendalam. Namun, pemahaman yang baik terhadap gagasan pluralisme Gus Dur tentu menjadi jawaban yang nyata bagi sebuah masyarakat heterogen.

Tindak Lanjut Terhadap Gagasan Pluralisme Gus Dur

  1. Jaringan Gusdurian[21]
  2. Selayang Pandang Jaringan Gusdurian

            Gusdurian itu tidak ada tanggal berdirinya karena berupa gerakan organik. Tiba-tiba saja tumbuh. Bermula dari rapat-rapat di Taman Amir Hamzah, Jakarta, beberapa bulan setelah Gus Dur wafat. Lalu, muncullah nama Gusdurian yang pertumbuhannya jauh melebihi perkiraan awal. Melalui pertemuan intensif di Ciganjur, terbentuklah Yayasan Bani K.H. Abdurrahman Wahid yang mengayomi Pojok Gus Dur, Jaringan Gusdurian, Abdurrahman Wahid Center yang di UI.[22]

Jaringan Gusdurian ini difasilitasi oleh Tim Seknas Gusdurian Yogyakarta yang langsung dimonitoring oleh putri-putri Gus Dur. Sekarang komunitas Gusdurian yang aktif ada di 85 kota. Selain itu, ada pula daerah yang banyak Gusdurian tetapi tidak membentuk forum secara resmi, seperti di Aceh dan Bali, tetapi saling berhubungan satu sama lain (connected). Ada yang terbentuk karena inisiatif lokal, ada yang dibentuk oleh teman-teman yang sudah mengetahui Gusdurian lalu membentuknya di tempat mereka berasal. Tidak ada yang top down. Gusdurian itu banyak orang NU-nya, tapi banyak juga yang bukan orang NU.

Jaringan Gusdurian lebih berkarakter gerakan sosial, bukan tipikal LSM. Program tidak di drive oleh funding. Dalam pertemuan penggerak nasional Gusdurian menyepakati sejumlah isu yang kemudian ditekuni, misalnya promosi toleransi pada Hari Toleransi Internasional 16 November 2017, kampanye berhasil dilakukan di 50 kota secara mandiri.

Sebagai gerakan masyarakat sipil, Gusdurian sudah mendapatkan atensi hingga level internasional, sebagai salah satu komunitas pegiat isu toleransi, perdamaian dan demokrasi. Misalnya, Gusdurian diundang oleh The Elders, organisasi internasional yang didirikan oleh Nelson Mandela yang sekarang dipimpin oleh Kofi Annan saat berkunjung ke Indonesia.

Utusan The Elders yang datang adalah Ernesto Zedillo (mantan presiden Meksiko) dan Gro Harlem Brundtland (mantan Perdana Menteri Norwegia). Mereka membawa isu kesehatan dan menjelaskan bahwa eksklusivisme agama di Indonesia bukan sekedar kasus intoleran, tetapi juga seperti gerakan antivaksin, poligami, nikah muda dan lainlain.[23] Hal tersebut menjadi bukti bahwa isu eksklusivisme agama di Indonesia selama ini ditangkap pula oleh lembaga internasional seperti The Elders tersebut.

  1. Tujuan Gusdurian

            Ada beberapa tujuan Gusdurian. Pertama, pangkalan untuk tetap mempertahankan Gus Dur sebagai inspirasi, untuk nilai-nilai, pemikiran dan perjuangan. Gus Dur milik banyak orang, dan Gusdurian bukan tempat untuk semata-mata memuji-muji Gus Dur

Kedua, membuka ruang bagi lahirnya orang-orang seperti Imam Aziz, Savic Ali, Hairus Salim dan tokoh-tokoh lain yang pernah bersentuhan langsung dengan Gus Dur dan berkiprah sesuai keahliannya. Hal ini dilakukan dengan meneruskan apa yang dahulu dijalankan oelh Gus Dur ketika mulai memperkenalkan tokoh-tokoh pesantren ke dunia yang lebih luas, seperti Gus Mus dan Kiai Sahal.

Ketiga, membangun jejaring yang lebih kuat, mengonsolidasikan jejaring yang lebih kokoh. Seperti yang kita ketahui,Gus Dur adalah seornag connector berbagai pihak yang saling berkepentingan. Ornag yang mempunyai kepentingan ekonomi dengan orang yang punya kepentingan agama bisa ketemu melalui Gus Dur. Oleh karenannya, kami ingin peran tersebut digantikan oleh Jaringan Gusdurian.

Tapi, perlu dicatat bahwa Gusdurian tidka mengklaim sebagai satu-satunya yang meneruskan Gus Dur. Gusdurian juga tidak memaksakan kepda siapapun harus bergabung. Gusdurian hanya untuk yang berminat saja.

Mimpi yang paling ideal bagi Jaringan Gsudurian adalah mempunyai sekolah Gusdurian di berbagai tempat. Semuanya menjadi penggerak. Lalu para Gusdurian menjadi pemimpin-pemimpin gerakan sosial di lingkungan masing-masing, di ruang yang mereka pilih. Membuka ruang untuk belajar tentag pemikiran Gus Dur kemudian menjadi pemicu semangat untuk bergerak.

  1. Kegiatan Jaringan Gusdurian

Jaringan Gusdurian memfokuskan diri pada program-program penyebaran gagasan, memfasilitasi konsolidasi jaringan, memberikan dukungan pada program lokal, program kaderisasi, dan peningkatan kapasitas jaringan. Beberapa diantaranya:[24]

  1. Kelas Pemikiran Gus Dur
  2. Forum Kajian dan Diskusi
  3. Kampanye Anti Korupsi
  4. Pelatihan Enterpreneurship
  5. Forum Budaya
  6. Workshop Social Media
  7. Koperasi Jaringan Gusdurian

Semakin berkembangnya komunitas Gusdurian, banyak kegiatan lain yang tengah dilakukan oleh Gusdurian belakangan ini, antara lain:

  1. Mengkaji secara kritis berbagai bentuk politisasi agama yang belakangan ini disuarakan, menggunakan gagasan Gus Dur
  2. Haul Gus Dur, sebagai upaya menjalin kebhinekaan, oleh karena anggota dan tamu undangan adalah dari berbagai golongan dan agama yang berbeda
  3. Menganalisis segala aspek menggunakan cara pandang dan gagasan Gus Dur
  4. Do’a bersama lintas iman atas musibah pengeboman gereja
  5. Do’a bersama lintas dan pengumpulan donasi untuk musibah Palu dan lain-lain
  6. Kampanye anti intoleransi dan hoax
  7. Dan lain sebagainya.

Berbagai kegiatan dan upaya yang dilakukan Jaringan Gusdurian menitikberatkan kepada gagasan pluralisme agama Gus Dur. Hal tersebut dapat dilihat dari gencarnya Gusdurian menjalin silaturahmi dengan pemeluk agama lain sebagai upaya mewujudkan kebhinekaan yang harmonis, meskipun mayoritas anggota komunitas Gusdurian adalah beragama Islam dan NU, sama seperti Gus Dur.

Kesimpulan

            Sikap pluralisme agama yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur tidak sekedar menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari agama yang berbeda, tetapi juga disertai kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran yang baik dari agama lain. Pluralisme agama harus dibedakan dengan kosmopolitanisme, kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas dimana aneka ragam, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Konsep pluralisme juga tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berfikir seorang atau masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari paham tersebut adalah agama apapun harus dinyatakan benar, atau tegasnya semua agama adalah sama. Selain itu, pluralisme agama juga bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru denga memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama tersebut.

Dari berbagai sudut pandang, penulis beranggapan bahwa gagasan pluralisme agama Gus Dur dapat tetap tumbuh bahkan tumbuh subur seiring dengan berkembangnya Jaringan Gusdurian. Hal tersebut dilihat dari berbagai aksi nyata semangat juang komunitas Gusdurian dalam merealisasikan gagasan Gus Dur pada era sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

  1. Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010.

Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta: Democracy Project, 2011.

, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 1999.

Agus Maftuh Abegebriel, Islam Kosmopolitan, Jakarta: The Wahid Institute, 2007.

Alissa Qotrunnada Munawwaroh, NU Penjaga NKRI: Sewindu Gusdurian: Gus Dur Sudah Meneladankan Saatnya Kita Melanjutkan, Sleman: Kanisius, 2018.

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Gema Insani, 2007.

Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Jakarta Selatan: Lkis Yogyakarta, 2003.

Gus Dur, Menjawab Perubahan Zaman, Jakarta: Harian Kompas, 2000.

  1. Hanif Dhakir, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010.

Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, Yogyakarta: LKiS, 2010.

Laporan Jurnal:

Achmad Mustholih, Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Pendidikan Islam, Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Pendidikan Islam, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2011.

Eko Nopriansyah, “Tela’ah Pemikiran Alwi Shihab Tentang Toleransi Beragama dalam Buku  Islam Inklusif“, Nuraini, Vol. 17, No. 2, 2007.

Website:

http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-moderat-dan-contohnya/, diakses pada 18 November 2018

http://www.gusdurian.net/id/jaringan-gusdurian/, diakses pada 21 November 2018

https://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme_agama, diakses pada 20 November 2018

https://kbbi.web.id/pluralisme, diakses pada 20 November 2018

[1] Mahasiswa IAT Semester Tujuh di Fakukltas Syaria’ah Ushuluddin, dan Dakwah IAINU Kebumen

[2] (http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-moderat-dan-contohnya/, diakses pada 18 November 2018).

[3] Selanjutnya di Tulis Gus Dur

[4] Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Jakarta Selatan: Lkis Yogyakarta, 2003, hlm. 26.

[5] Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur Analisis Wacana Kritis, Yogyakarta: LKiS, 2010, hlm. 126.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Gema Insani, 2007, hlm. 16.

[9] (https://kbbi.web.id/pluralisme, diakses pada 20 November 2018).

[10] (https://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme_agama, diakses pada 20 November 2018).

[11] Achmad Mustholih, Konsep Pendidikan Pluralisme Menurut Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Pendidikan Islam, Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Pendidikan Islam, Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2011, hlm. 30.

[12] Eko Nopriansyah, “Tela’ah Pemikiran Alwi Shihab Tentang Toleransi Beragama dalam Buku  Islam Inklusif“, Nuraini, Vol. 17, No. 2, 2007, hlm. 140.

[13] M. Hanif Dhakir, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, Yogyakarta: LkiS, 2010, hlm. 63.

[14] Agus Maftuh Abegebriel, Islam Kosmopolitan, Jakarta: The Wahid Institute, 2007, hlm. xxv.

[15] Ibid., hlm. 311.

[16] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta: Democracy Project, 2011, hlm. 135.

[17] Ibid., hlm. 135-136.

[18] Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LkiS, 1999, hlm. 145.

[19] Gus Dur, Menjawab Perubahan Zaman, Jakarta: Harian Kompas, 2000, hlm. 16.

[20] A. Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran  dan Perjuangan Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2010, hlm. 19-20.

[21] Alissa Qotrunnada Munawwaroh, NU Penjaga NKRI: Sewindu Gusdurian: Gus Dur Sudah Meneladankan Saatnya Kita Melanjutkan, Sleman: Kanisius, 2018, hlm.  236.

[22] Ibid.

[23] Ibid,. hlm. 242-243.

[24] (http://www.gusdurian.net/id/jaringan-gusdurian/, diakses pada 21 November 2018)